Dekonstruksi Teologi Arkoun: Langkah Awal Menuju Islam Era Society 5.0

oleh -
oleh

Oleh: Yoga Irama*

SuaraBojonegoro.com – Arkoun menekankan bahwa umat Islam saat ini terbelenggu oleh tafsir Islam klasik sehingga diperlukan sebuah pembaruan pemikiran dalam Islam sesuai konteks yang ada. Pemikiran Arkoun mempunyai ciri utama yakni humanisme, pemikiran humanisme Arkoun dirasa menjadi langkah awal menuju society 5.0 karena humanisme Arkoun memberi kebebasan terhadap nalar manusia.

Secara umum Arkoun membagi konsep humanisme Islam menjadi tiga; humanisme teks, humanisme mistik dan humanisme filosofis. Dalam humanisme teks Arkoun menjelaskan bahwa jenis humanisme ini merupakan gambaran ideal yang mempunyai kesamaan dengan adab dikarenakan mempunyai keterkaitan antara pengetahuan dan budaya tanpa dibatasi oleh kebekuan berpikir. Dalam konteks humanisme ini diharapkan sanggup memproyeksikan kritik nalar Islam terhadap kitab-kitab klasik dengan tujuan mengungkap suatu realita sejarah yang telah diubah oleh penguasa dan kaum intelek. Humanisme ini secara keilmuan hanya berdasarkan pada metode bayani.

Selanjutnya konsep humanisme mistik, jenis humanisme ini menjelaskan manusia memiliki hak untuk menjalani ibadah pada hal mistik yang telah mereka yakini dengan sebuah keyakinan akan adanya penyatuan antara diri manusia dengan Tuhan. Menurut Arkoun contoh dari jenis humanisme ini adalah tasawuf yang mana menjadi sarana keyakinan manusia menuju Tuhannya dalam upaya mengekspresikan kepatuhan sebagai hamba.

Jenis humanisme terakhir adalah humanisme filosofis, humanisme ini merupakan kombinasi antara humanisme teks dan humanism mistik. Humanisme ini mencoba meletakkan semuanya di tengah sebagai suatu yang dapat di logika dan sebagai suatu hal yang tertanam dalam diri manusia yakni kecerdasan. Meskipun humanisme ini mencoba menyeimbangkan antara humanisme mistik dan humanisme teks namun pada aplikasinya humanisme filosofis cenderung memberikan kebebasan manusia dalam mengoptimalkan dan mengontrol kecerdasannya.(Sahri, 2022)

Realitas Ketuhanan dan Humanisme
Konsep humanisme Arkoun tersebut seolah memisahkan realitas ketuhanan dan humanisme sehingga manusia diberi ruang sebebasnya untuk mengoptimalkan potensinya, tentunya dalam koridor keagamaan namun nyatanya bukan seperti itu. Dalam berperilaku, manusia diharuskan mempunyai dua daya, yakni daya teoritis dan daya praktis. Daya teoritis ini menurut Arkoun akan membawa manusia kepada berbagai macam ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan bermuara pada pemahaman tentang ketuhanan, sehingga membawa ketentraman jiwa.

Selanjutnya daya praktis menurut Arkoun yaitu saat manusia dapat mengaktualisasikan pengetahuan yang telah didapat dari daya teoritis. Dua daya inilah manusia dapat menentukan perilaku maupun perbuatannya masing-masing, inilah yang menurut Arkoun sebagai kebebasan. Hal ini mengandung konsep otoritas yakni melakukan segala sesuatu berdasarkan kapabilitas masing-masing individu.

Dekonstruksi Arkoun dan konsepsinya tentang humanisme Islam seakan memberi angin segar terhadap para pemikir Islam untuk terus berkreasi sesuai kapabilitas mereka, sehingga penggunaan instrumen termasuk instrumen teknologi dan dunia digital dalam menghasilkan pemikiran komprehensif menjadi penting.

Bukan hanya bagi kalangan pemikir muslim saja yang merasakan dampak kebebasan berkreasi yang didambakan oleh Arkoun, namun bagi masyarakat awam pun dapat dirasakan. Hal ini dapat dilihat mulai banyaknya konten-konten bermuatan religius di dunia digital dengan berbagai penafsiran, sehingga memberi warna baru bagi umat Islam dalam konteks pemikiran.

Lebih jauh, kesadaran dan kepedulian sosial yang mulai tumbuh dalam masyarakat termasuk masyarakat Indonesia mulai menggunakan teknologi digital dalam memerangi ketidakadilan secara tidak langsung merupakan esensi dalam ajaran Islam. Contoh saja mulai maraknya penggunaan petisi online yang digunakan untuk mengangkat isu-isu yang tidak proses hukum, atau penggunaan petisi online untuk mendukung kesetaraan masyarakat di mata hukum yang terkadang tajam ke bawah tumpul ke atas.

Selain itu mulai maraknya penggunaan konten-konten digital untuk membantu warga yang dirasa hidup dalam kemiskinan, dan lain sebagainya. Contoh-contoh di atas secara tidak langsung mendukung konsep humanisme dan keseimbangan nilai religius di era digital, sehingga pembahasan teologi yang cenderung pada kajian ketuhanan dapat bergeser ke kajian humanisme.

Era Society 5.0
Era society 5.0 sendiri merupakan lanjutan dari revolusi industri 4.0, jika revolusi industri 4.0 berpusat pada internet, IoT dan AI maka society 5.0 lebih memfokuskan masyarakat yang paham dan dapat menggunakan teknologi tersebut dalam berbagai bidang. Era ini sangat lekat dengan teknologi dan sains dimana pemikiran kritis dan bebas yang didambakan Arkoun dapat terwujud. Sains sendiri mengajarkan bahwa segala hal harus diragukan namun harus setia pada percobaan-percobaan ilmiah, hal ini mengindikasikan bahwa pemikiran Arkoun dapat diterapkan di era society 5.0.

Teologi di era society 5.0 bukan lagi dipahami semata-mata hanya membahas seputar wilayah ketuhanan yang melebur menjadi sebuah keyakinan akidah semata. Lebih dari itu, dalam konteks society 5.0 yang menghendaki kemajuan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, teologi harus dipahami sebagai sebuah ideologi keagamaan yang meyakini entitas Tuhan pencipta segala hal yang mewujud menjadi salah satu teknologi yang memudahkan kehidupan manusia.
Dengan begitu akan ada keyakinan bahwa teknologi yang dinikmati manusia sampai saat ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia demi memudahkan ibadah dan pengelolaan di atas muka bumi.

Mengintegrasikan antara dimensi rohani dengan humanisme menjadi ciri utama pemikiran Arkoun, dimana keduanya harus saling berhubungan satu sama lain dan saling terhubung demi mencapai kemaslahatan.

Akibat adanya kecanggihan dalam setiap lini kehidupan, sehingga potensi manusia dalam me-manage kehidupan menjadi semakin optimal. Namun sangat disayangkan apabila kemudian teknologi justru malah mengikis sisi kemanusiaan yang ada pada diri setiap orang. Keniscayaan perkembangan teknologi jangan sampai membuat dimensi kemanusiaan semakin tipis dan justru seakan-akan tampil menjadi Tuhan.

Pada tahun 2016 McKinsey menyatakan dalam penelitiannya bahwa akan ada lebih dari 50 juta pekerjaan yang hilang dalam waktu lima tahun. Hal ini merupakan pesan kepada setiap individu untuk terus berkembang, mempersiapkan mental dan memperkuat kemampuan bersaing di tengah perkembangan zaman. Langkah-langkah yang harus disiapkan adalah akhlak dalam diri (perilaku dan sikap), meningkatkan kompetensi dan membudayakan literasi. Langkah-langkah tersebut dapat dicapai dengan kurun waktu sepanjang hayat dan dengan siapa pun.(Yazid, 2021)

Berdasarkan realitas tersebut maka perlu adanya rekonstruksi keberagamaan, yaitu dengan menyesuaikan diri dengan era masyarakat 5.0, dengan maksud untuk menyesuaikan dengan kebutuhan di masa depan. Di tengah zaman yang terus berubah, nilai-nilai keislaman harus mampu bersaing di dalamnya. Dalam menyongsong era masyarakat 5.0, harus ada jalan keluar agar agama Islam tetap dapat diterima di tengah perkembangan zaman. Jika tidak, seorang Muslim akan kesulitan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Solusi Penerapan Islam di Era Society 5.0
Setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan di era masyarakat 5.0, seperti yang dikatakan Rhenald Kasali yakni: pola pikir yang mengganggu (disruptive mindset), mengemudi sendiri (self-driving person) dan membentuk kembali atau mencipta (reshape or create).(Sahri, 2022).

Penyesuaian pola pikir (disruptive mindset), yaitu menentukan setting sebelum berpikir atau bertindak. Di dunia sekarang ini, dimana segala sesuatu serba cepat dan informasi dapat diakses setiap saat merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang. Setiap muslim perlu membentuk pola pikir agar tidak terkesan agama Islam selalu tertinggal. Saat ini Masyarakat menuntut kehadiran sesuatu yang baru dan sesuai dengan kenyataan, ini juga merangsang inovasi dan kreativitas dalam belajar.

Self-driving person artinya dia seperti pengemudi yang bisa mengendalikan segala perubahan, bukan lagi sebagai penumpang. Driver yang baik tercipta dari sumber daya manusia yang dapat mengelola diri sendiri, beradaptasi dengan setiap situasi, bersiap untuk hasil yang buruk, dan dituntut untuk kreatif, efektif, dan efisien dalam bekerja. Kemampuan sebagai penggerak yang baik itulah yang dibutuhkan.

Reshape or create, artinya menerima kemudian mengolahnya untuk dibentuk atau diubah menjadi sesuatu yang baru. “Tentang sesuatu yang lama, jika bagus, maka pertahankan, dan terima yang baru untuk diolah menjadi lebih baik”, adalah populer di silsilah kalangan masyarakat. Adanya modifikasi proses dalam beragama di era masyarakat 5.0 diharapkan dapat mempertahankan eksistensinya agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman.

Selain tiga hal yang telah disebutkan di atas, untuk mempertahankan eksistensinya di era revolusi masyarakat 5.0, ada hal lain yang bisa dilakukan. Sehingga Agama Islam tetap dapat bertahan di tengah perkembangan zaman khususnya dalam menghadapi era masyarakat 5.0. Pertama, seorang muslim harus bisa memanfaatkan teknologi yang artinya menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas, bukan sebagai penghambat kreativitas. Kedua, ilmu pengetahuan, teknologi dan Imtaq digunakan untuk meningkatkan sumber daya manusia secara spiritual, moral dan intelektual. Ketiga, perubahan sistem menuju modernisasi, mulai dari pola pikir hingga evaluasi. Islam harus memiliki sense of development agar dapat bertahan di tengah era masyarakat 5.0, sehingga ajaran-ajaran Islam akan bisa terus eksis dan relevan hingga akhir zaman (shahih likulli zaman wa makan). (**)

*) Penulis adalah Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

No More Posts Available.

No more pages to load.