Oleh: Said Edy Wibowo *)
SuaraBojonegoro.com – Setiap kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, selalu akan muncul pertanyaan bagaimana memaknai momentum tersebut dalam konteks kekinian?. Pada saat yang sama, di kalangan kaum muda, gema ikrar Sumpah Pemuda itu secara faktual mulai hanya terdengar sayup-sayup. Makin lama boleh menjadi makin tak terdengar.
Sumpah Pemuda yang sesungguhnya meninggalkan jejak sejarah penting bagi Republik ini, kini seakan tinggal menjadi memori. Sumpah itu seolah hanyalah artefak dan cukup disimpan di dalam laci sejarah. Kalaupun dirayakan atau diperingati, kerap kali cuma sebatas seremoni tanpa meninggalkan arti.
Sumpah Pemuda yang kita rayakantidak berlandaskan pemaknaan, tetapi hanya sekadar pengulangan. Sumpah Pemuda tak lagi muncul sebagai referensi generasi muda dalam mengeratkan persatuan sekaligus menggelorakan perubahan.
Padahal, peristiwa atau sejarah masa lalu penting diingat untuk refleksi membangun masa depan bangsa. Sekuat apa pun golongan muda, sehebat apa pun mereka sehingga selalu digadang-gadang sebagai tumpuan harapan masa depan bangsa, tidak akan menjadi setangguh yang diharapkan kalau mereka tak pernah belajar sejarah.
Sejarah, apalagi sebuah peristiwa yang menandai munculnya hasrat akan persatuan bangsa, sejatinya ialah vitamin yang akan sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman hari ini yang tak ringan. Syaratnya, sejarah tidak diglorifikasi hanya sebagai catatan hebat masa lalu, tapi juga digali substansinya, diselami intisarinya, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pemahaman seperti itulah kita mengajak anak-anak muda, dengan segala kunggulan dan kekurangannya, untuk mau dan mampu berkontribusi lebih besar terhadap perjalanan bangsa ini ke depan. Zaman apa pun, kaum muda akan selalu menjadi agen perubahan.
Kini, di era kehidupan yang serbainstan, kerap menihilkan proses karena mengutamakan hasil, dan serba-dimudahkan karena campur tangan teknologi, ialah tantangannya. Itu jelas tidak akan mudah dilalui.
Karena itu, negara juga mesti ambil peran besar untuk memfasilitasi penyiapan para generasi muda ini sebagai. Calon pemimpin negeri. Tidak saja menyiapkan mereka pada sisi karakter yang mengacu pada isu integritas dan nasionalisme, tapi juga membangun mereka menjadi manusia yang berkualitas sekaligus produktif.
Ingat, kaum muda ialah aktor utama dari bonus demografi. Kalau sang aktor sarat keunggulan dan kekuatan, bangsa ini akan menangguk profit dari bonus tersebut. Sebaliknya, bila aktornya tak punya karakter kuat, nihil integritas, minim produktivitas, alih-alih bonus demografi, surplus kaum muda itu malah akan menjadi bencana.
Kita sepatutnya bersyukur karena banyak anak muda di negeri ini yang tak hanya cerdas dan punya prestasi, tapi juga tangguh dan berintegritas tinggi. Sebagian bahkan sudah membuktikan mampu menjadi pemimpin, baik wilayah maupun perusahaan, yang berhasil. Anak-anak muda cerdas kini juga sudah mampu menjadi motor penggerak ekonomi.
Namun, harus diakui, tidak sedikit pula generasi muda yang malah terbawa ke dalam arus yang salah. Arus budaya instan, arus kemalasan, arus kecurangan, arus kebencian akan perbedaan, dan arus-arus lain yang akan menjauhkan anak-anak muda dari keidealan.
Pada bagian lain, golongan muda ini sesungguhnya masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari kaum tua. Akan tetapi, faktanya, negeri ini sedang mengalami defisit keteladanan dari golongan tua. Seringkali bukan contoh baik yang mereka pertontonkan, melainkan perilaku busuk yang tak patut ditiru.
Karena itu, momentum Hari Sumpah Pemuda kiranya tak hanya menjadi pengingat bagi kaum muda untuk terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas diri, tetapi juga peringatan bagi kaum tua agar bisa menjadi teladan yang baik sekaligus menuntun generasi penerusnya menjadi pemimpin yang cakap di masa depan.
*) Penulis adalah Pengawas Madrasah Aliyah Kemenag Bojonegoro | Humas Kwarcab Bojonegoro