SUARABOJONEGORO.COM – Karya tulis ini adalah bagian dari catatan redaksi yang dikemas sedemikian rupa untuk disajikan ke pembaca yang budiman.
Sore itu, kira-kira harinya aku lupa. Maklum, aku lagi banyak pikiran. Hehehe !! Iya, sore itu pukul 15.30 WIB aku sedang duduk bersama dengan sahabatku. Sebut saja dia Kaji Heri.
Kaji Heri ini aktif diberbagai organisasi kemasyarakatan. Salah satunya, pengurus Ansor, pegiat pendidikan, Gusdurian, dan lain sebagainya. Tapi, yang aku kenal adalah Kaji Heri Gusdurian Korda Bojonegoro.
“Bagaimana kabarnya Gus?” Tanyaku.
“Sehat brow” jawabnya singkat sembari setengah tertawa.
Sebelum kita banyak ngomong. Aku dan dia basa-basi duluan. Ya seperti biasa, basa basi menjadi permulaan penjajakan sebelum memulai ngomong panjang dan lebar. Kerena saat itu kita tidak menyepakati satu tema obrolan. Hehehe !
“Monggo gus, diminum es nya” ajakku.
“Uye brow” jawabnya singkat sembari memandangi laptop disebelahnya.
Kaji Heri sedang menginstal aplikasi untuk mengedit foto. Sebelumnya, dia minta file aplikasi corel ke aku. Tapi, aku tak memilikinya. Sehingg, dengan sedikit memaksa, Kaji Heri mendownload aplikasi corel melalui wifi.
Warung wifinya sederhana. Tempatnya dipinggiran jalan Dr Cipto Bojonegoro. Kursi kayu dan meja kayu. Tapi, pembahasan kita tak sesederhana warung kopinya. Bahasan bahasan atau bincang bincang kami cukup menarik dan spesial.
Sebab, aku bisa menceritakan pengalamanku saat menjadi Jurnalis media cetak yang diposkan di pos “hukum” dan beberapa peristiwa pengalamanku saat duduk satu meja dengan pejabat dan pengacara saat diskusi tentang hukum.
“Hukum itu memang penting untuk bekal atau wawasan kader-kader kita dalam mengawal isu isu hukum” kata Kaji Heri.
“Iya gus, itu memang penting” jawabku.
Dalam obrolan itu, aku dan Kaji Heri sesekali tertawa. Tertawa karena beberapa perbincangan sore itu terasa lucu dan konyol. Sehingga, aku dan Kaji Heri sontak tertawa. Wkwkwkwk !!!
Aku bertanya kepada Kaji Heri. “Rasanya hukum di Indonesia itu tajam ke bawah, tumpul ke atas? Tanyaku kepada Kaji Heri.
Tapi, Kaji Heri tak memberi jawaban. Malah memberi pertanyaan. Menjadikanku “bento ndadak”. Lha wong aku bertanya, e…malah dia mengajukan pertanyaan juga. Kan ya terasa gimana gituuu. Hehehe !!!
“Apa kamu sudah mendengar kasus dugaan penistaan Agama yang melikit Meiliana Kabupaten/Kota Tanjung Balai?” Tanyanya.
“Belum gus” jawabku.
Kaji Heri menggerutu, ternyata di Indonesia ini isu sentimen Agama masih menjadi momok. Betapa tidak, kata Kaji Heri, ibu Meiliana yang diduga melakukan penistaan agama gara-gara suara adzan divonis 18 bulan penjara. Tapi kini pihaknya upaya banding.
“Lha pertanyaanku, terkait rasanya hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bagaimana gus?” batinku. Hehehe !!!
Kaji Heri melanjutkan pembicaraannya, rasa rasanya demokrasi di negara kita perlu dibenahi. Sehingga, peradilan menjadi tempat orang-orang yang benar-benar mendapatkan keadilan. “Saya setuju gus” kataku menyela.
Aku mencoba mengikuti alur pembicaraan Kaji Heri. Jika memang sudah divonis oleh Majelis Hakim Tanjung Balai. Maka, apa pun putusan pengadilan kita harus menghormatinya. Karena masihbada upaya hukum selanjutnya.
Jika memang sudah merencanakan banding. Maka, kataku, tidak cukup hanya sampai disitu. Tapi, hingga kasasi. Ya kalau perlu PK sekalian. Artinya, perjuangan sahabat sahabat yang mendampingi Ibu Meiliana tidak setengah-setengah.
Akupun juga merasa dongkol ya. Karena aku tidak mengetahui fakta-fakta persidangan yang kemudian dijadikan bahan pertimbangan mejelis hakim dalam mengambil keputusan secara kolektif untuk menjatuhi hukuman kepada terdakwa.
“Bagaimana fakta-fakta persidangannya ya, sehingga Ibu Meiliana bisa divonis sedemikuan rupa?” pikirku dalam hati.
Seandainya, aku diasana maka akan aku ceritakan pengalamanku saat melihat perkara Ibu Ro”””ah dari berbagai sudut pandang. Lalu, fakta-fakta persidangannya akan aku ceritakan untuk berbagi pengalaman. Dengan harapan ada cara untuk menyelamatkan Ibu Meiliana.
“Ya semoga ada kabar baik setelah ini” kata Kaji Heri.
“Iya Gus” sambungku.
Baru kemudian, Kaji Heri menanggapi pertanyaanku. “Karena petisi petisi” jawab Kaji Heri sembari ketawa. Hahaha !!! “Bisa jadi” kataku. Hahaha !!!
Dalam prespektif ini, aku melihat penegakan hukum di Indonesia lemah terhadap dorongan dorongan politik yang cukup besar. Sehingga, terkadang muncul “Kasus Pesanan” di kalangan elit politik. “Kan ya ngeri” batinku.
Simpelnya, kekuatan kepentingan dan politik, jauh lebih kuat dari penegakan hukum. Ini menyebabkan tumpang tindih dalam penegakan hukum di Indonesia. Kalau di Bojonegoro, mungkin 11 – 12 lah ya. Hehehe !!!
“Bisa jadi seperti itu brow” kata Kaji Heri menanggapi.
“Diminum dulu gus es nya” ajakku.
“Oke brow” kata Kaji Heri.
Kita semua berharap bahwa penegakan hukum di Indonesia harus “berkeadilan” bukan “berkepentingan. Perbincanganku dan Kaji Heri pun terpaksa diakhiri dan dilanjut dikemudian hari. Selain, waktu semakin sore, kita pun juga memiliki tanggung jawab di rumah sebagai suami. Hehehe !!!
“Oke, dilanjut next time gus” kataku.
“Oyi brow” jawabnya.
Kami pun berjabat tangan sebelum meninggalkan tempat. Merupakan tradisi sebagai warga Nahdhiyin yang baik. Hehehe !!!
Penulis: Wahyudi, Redaktur SuaraBojonegoro.com.