Esai Reflektif Hari Jadi Bojonegoro ke-348, Pesta Rakyat: Kado yang Tak Pernah Sampai

Oleh: Agus Sighro Budiono

SuaraBojonegoro.com – Tiap tahun, Bojonegoro bersiap menyambut ulang tahunnya. Jalan-jalan disapu bersih, lampu hias menggantung di alun-alun, dan panggung besar berdiri megah seakan hendak berkata, “Inilah pesta untuk rakyat.” Namun ketika malam tiba, dan musik bergemuruh dari pengeras suara, kita tahu — pesta itu bukan sepenuhnya milik rakyat.

Di atas panggung, artis ibu kota berdendang. Kabarnya, besok tanggal 23 Oktober, penyanyi kondang Deny Caknan bakal tampil, dan tentunya juga diiringi bintang bintang tenar lainnya yang mungkin tak hafal jalan menuju Kalitidu, atau tak pernah tahu ada hamparan luas ladang tebu di Tambakrejo, tak pernah mencium aroma tembakau di Kedungadem.
Yang terpenting adalah Pemkab bangga, EO puas, dan layar besar memancarkan citra kemeriahan. Tapi di antara kerumunan itu, ada seniman Bojonegoro yang berdiri di pinggir lapangan — menonton pesta yang semestinya juga miliknya.

Padahal Bojonegoro tidak kekurangan talenta. Dari gang kecil, suara gitar folk menyanyi tentang Bengawan. Di desa, anak-anak muda menabuh kendang dan menari jaranan dengan semangat yang sama kuatnya dengan denyut tanah tempat mereka berpijak. Ada pelukis yang membuat warna-warna bengawan di kanvas sederhana; ada teater yang membangun panggung dari bambu dan semangat gotong royong. Tapi semua itu sering kali terhapus oleh gemerlap satu malam.

Baca Juga:  Jelang HJB ke 347, Pemdes Dologgede Sinergitas Pertamina EP Cepu Sukseskan Laju Pembangunan

Terlebih dalam janji kampanye pasangan Setyo Wahono dan Nurul Azizah dengan jelas menempatkan bidang seni dan budaya sebagai salah satu program unggulan dari sembilan program yang dijanjikan kepada rakyat.

Di dalam janji kampanyenya, pasangan ini berencana untuk mengembangkan seni budaya lokal yang menjadi identitas Bojonegoro. Mereka ingin mendorong kebudayaan daerah menjadi lebih dikenal dan diapresiasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu juga akan terus mendorong pengembangan sektor pariwisata dalam upaya mempromosikan Bojonegoro. Hingga tercapainya Bojonegoro yang *Bahagia, Makmur dan Membanggakan*

Jika saja uang ratusan juta untuk mendatangkan artis ternama itu dialihkan untuk mendukung produksi karya seniman lokal, betapa panjang pesta rakyat itu bisa hidup. Pesta bisa berlangsung sepekan, bahkan sebulan. Tak hanya di alun-alun, tapi di desa-desa, di sekolah-sekolah, di ruang-ruang komunitas. Setiap hari bisa menjadi perayaan Bojonegoro — bukan hanya karena ulang tahun pemerintahannya, tapi karena napas warganya yang hidup dan berkreasi.

Baca Juga:  Peringati Hari Jadi Bojonegoro Ke 346, Pemkab Gelar Upacara 

Sayangnya, setiap tahun kita kembali pada pola yang sama: pesta besar, panggung megah, lalu senyap. Seolah rakyat hanya diundang untuk menonton, bukan untuk turut menjadi bagian dari perayaan.

Pesta rakyat seharusnya bukan hanya tentang siapa yang tampil di panggung, tetapi siapa yang diberi kesempatan untuk mengisi maknanya. Ia bukan tentang sorotan lampu, tapi tentang cahaya kecil yang tumbuh dari kreativitas warga. Selama ruang itu masih tertutup bagi seniman sendiri, selama suara lokal masih diredam oleh musik yang dibeli dengan anggaran besar, maka pesta rakyat akan tetap menjadi kado yang tak pernah sampai — indah bungkusnya, tapi kosong di dalamnya.

Bojonegoro sebenarnya tidak butuh kemeriahan sesaat. Ia butuh ruang yang tumbuh bersama rakyatnya. Ia butuh panggung yang tak hanya tinggi, tapi juga terbuka — tempat setiap seniman lokal bisa menyalakan lilin kecilnya, agar cahaya Bojonegoro benar-benar lahir dari dalam, bukan dari lampu sorot yang datang lalu pergi. (Red/Lis)