Oleh: Ust. Sholikin Jamik
SuaraBojonegoro.com Sebentar lagi umat islam di seluruh dunia akan merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa menahan diri dari lapar, dahaga dan kegiatan lain yang dilarang dilakukan selama bulan puasa. Hanya tinggal menghitung hari gema kalimat-kalimat Takbir, Tauhid dan Tahmid akan kita ucapkan dengan penuh rasa ikhlas.
Suasana hari raya idul fitri mulai terasa sejak terlihat orang-orang mulai ziarah kubur, mengunjungi orang tua, mudik, menyiapkan makanan ataupun jajanan sanak-kerabat dan tetangga, tak ketinggalan pula menyiapkan baju terbaik yang kita punya.
Hari raya yang penuh suka cita itu juga menjadi kesempatan khusus untuk meminta maaf dan mempererat bersilaturahmi kepada sesama saudara muslim, tak menutup kemungkinan kepada saudara nonmuslim juga. Hari raya Idul Fitri ini memiliki beberapa keutamaan, yaitu
عن أَبن مسعود رضي الله عنه عن النبي عليه الصلا ة وَلسلام أَنه قال اذَ ا صاموا شهر رمضان وخرجوا الى عيدهم يقول الله تعالى يا ملـئكتى كل عامل يطلب اجره وعبادى اللذين صاموا شهرهم وخرجوا الى عيدهم يطلبون اجورهم اشهدوا أنى قد غفرت لهم ، فينادى مناد يا امة محمد ارجعوا الى منازلكم قد بدلت سيئاتكم بالحسنات، فيقول الله تعالى يا عبادى صمتم لى وافطرتم لى فقوموا مغفورا لكم
Dari ibni mas’ud r.a ,dari Nabi Saw sesungguhnya nabi bersabda : tatkala umat nabi malaksanakan puasa ramadhan dan mereka keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied,maka allah berfirman : wahai malaikatku,setiap yang telah bekerja mendapatkan upahnya,Dan hamba-hambaku yang melaksanakan puasa ramadhan dan keluar rumah untuk melaksanakan shalat ‘ied dan memohon upah/ganjaran mereka, maka saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah memaafkan mereka,maka tersuara : Wahai umat muhammad,kembalilah kalian ke rumah-rumah kalian , aku telah menggantikan keburukan kalian dengan kebaikan , maka Allah berfirman : Wahai hamba-hambaku,kalian berpuasa untukku dan berbuka untukku maka tegaklah kalian dengan mendapat ampunanku terhadap kalian.
HR. Imam Ibnu Majah (2/265)
Amalan yang perlu diingat ketika kita berada di hari Idul Fithri adalah
1- Disunnahkan untuk mandi sebelum berangkat shalat Idul Fithri
Mandi ketika itu disunnahkan. Yang menunjukkan anjuran ini adalah atsar dari sahabat Nabi.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, seseorang pernah bertanya pada ‘Ali mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al-Baihaqi, 3: 278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al-Irwa’, 1: 177)
Ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut.
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Al-Muwatho’ 426. Imam Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa para ulama sepakat akan disunnahkannya mandi untuk shalat ‘ied.
Dikatakan dianjurkan karena saat itu adalah berkumpungnya orang banyak sama halnya dengan shalat Jum’at. Kalau shalat Jum’at dianjurkan mandi, maka shalat ‘ied pun sama.
2- Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik
Ada riwayat yang disebutkan dalam Bulughul Maram no. 533 diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki baju khusus di hari Jumat dan di saat beliau menyambut tamu. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad)
Ada juga riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ‘Umar pernah mengambil jubah berbahan sutera yang dibeli di pasar. Ketika ‘Umar mengambilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Wahai Rasulullah, belilah pakaian seperti ini lantas kenakanlah agar engkau bisa berpenampilan bagus saat ‘ied dan menyambut tamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,
إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
“Pakaian seperti ini membuat seseorang tidak mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Bukhari, no. 948)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempermasalahkan berpenampilan bagus di hari Idul Fithri. Yang jadi masalah dalam cerita hadits di atas adalah jenis pakaian yang ‘Umar beli yang terbuat dari sutera.
Ada juga riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)
Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memakai pakaian terbaik di hari ‘ied.
Aturan berpenampilan menawan di hari ‘ied berlaku bagi pria. Sedangkan bagi wanita, lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki lain. Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.
3- Makan sebelum shalat Idul Fithri
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan sebelumnya beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Untuk shalat Idul Fithri disunnahkan untuk makan sebelum keluar rumah dikarenakan adanya larangan berpuasa pada hari tersebut dan sebagai pertanda pula bahwa hari tersebut tidak lagi berpuasa.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2: 446)
Menyatakan bahwa diperintahkan makan sebelum shalat Idul Fithri adalah supaya tidak disangka lagi ada tambahan puasa. Juga maksudnya adalah dalam rangka bersegera melakukan perintah Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari Idul Fithri (ke tempat shalat, pen.) sampai beliau makan beberapa kurma terlebih dahulu. Beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Bukhari, no. 953)
Kalau tidak mendapati kurma, boleh makan makanan halal lainnya.
4- Bertakbir dari rumah menuju tempat shalat
Ketika puasa Ramadhan telah sempurna, kita diperintahkan untuk mensyukurinya dengan memperbanyak takbir. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ المصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri sambil bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/1/2. Hadits ini mursal dari Az-Zuhri namun memiliki penguat yang sanadnya bersambung. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan bahwa kaum muslimin ketika itu keluar dari rumah mereka sambil bertakbir hingga imam hadir (untuk shalat ied, pen.)
Namun kalau kita lihat dari keumuman ayat Surat Al-Baqarah ayat 185 yang menunjukkan perintah bertakbir itu dimulai sejak bulan Ramadhan sudah berakhir, berarti takbir Idul Fithri dimulai dari malam Idul Fithri hingga imam datang untuk shalat ‘ied.
Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Kalau lafazh di atas takbir “Allahu Akbar” ditemukan sebanyak dua kali. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah pula disebutkan dengan sanad yang sama dengan penyebutan tiga kali takbir. (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 36442)
Artinya di sini, dua atau tiga kali takbir sama-sama boleh.
Syaikhul Islam menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 220)
Disyari’atkan bertakbir dilakukan oleh setiap orang dengan menjaherkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 220)
5- Saling mengucapkan selamat (at-tahniah)
Termasuk sunnah yang baik yang bisa dilakukan di hari Idul Fithri adalah saling mengucapkan selamat. Selamat di sini baiknya dalam bentuk doa seperti dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amalan kami dan kalian). Ucapan seperti itu sudah dikenal di masa salaf dahulu.
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath Al-Bari, 2: 446)
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.” (Al-Mughni, 2: 250)
Namun ucapan selamat di hari raya sebenarnya tidak diberi aturan ketat di dalam syari’at kita. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya tidak keliru asalnya bisa dipakai. Contoh ucapan di hari raya ‘ied:
• ‘Ied mubarak, semoga menjadi ‘ied yang penuh berkah.
• Minal ‘aidin wal faizin, semoga kembali dan meraih kemenangan.
• Kullu ‘aamin wa antum bi khair, moga di sepanjang tahun terus berada dalam kebaikan.
• Selamat Idul Fithri 1437 H.
• Sugeng Riyadi 1437 H (selamat hari raya) dalam bahasa Jawa.
Ucapan selamat di atas biasa diucapkan oleh para salaf setelah shalat ‘ied. Namun jika diucapkan sebelum shalat ‘ied pun tidaklah bermasalah. (Lihat bahasan Fatwa Islam Web 187457)
6- Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di hari ied (ingin pergi ke tempat shalat, pen.), beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari, no. 986)
Di antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara jalan pergi dan pulang adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi bagi kita ketika beramal. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4)
Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا
“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Namun hadits ini punya penguat dalam Al-Kabir karya Ath-Thabrani 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin, 1: 439)