SuaraBojonegoro.com — Harga komoditas tembakau Kabupaten Bojonegoro menurun di awal musim hujan. Dihimpun dari berbagai sumber, harga tembakau rajangan saat ini berkisar Rp 18 Ribu per kilogram (kg) hingga Rp 23 Ribu per kg. Padahal, beberapa bulan lalu harga tembakau rajangan mencapai Rp 48 Ribu per kg.
Dekan Fakultas Pertanian Unigoro, Ir. Darsan, M.Agr., menjelaskan, saat daun tembakau terkena hujan otomatis kandungan nikotin akan turun dan luntur ke tanah. Ketika dipanen warna daunnya pun tidak bisa kuning keemasan seperti saat musim kemarau. “Pabrik tidak menghendaki tembakau dengan kualitas seperti itu. Pabrik lebih suka tembakau dengan kadar nikotin atau klelet yang tinggi seperti saat kemarau. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi petani untuk menanam tembakau lebih awal. Sehingga dapat harga yang bagus dan tinggi,” jelasnya, Jumat (8/11/24).
Darsan menghimbau para petani untuk memperhitungkan harga pasar paska panen. Jika petani hanya sekedar ikut-ikutan menanam, maka mereka tidak bisa mendapatkan kualitas tembakau yang terbaik. Selama musim hujan, gudang atau pabrik akan membatasi pembelian tembakau lembaran dan rajangan dari petani. “Mungkin dari segi teknik menanam, para petani sudah bisa mengaplikasikan dengan baik. Tetapi apakah mereka bisa memrediksi harga? Psikologis petani di daerah kita itu bakal berbondong-bondong nanam saat harganya bagus. Tembakau Bojonegoro dipasarkan di gudang-gudang pabrik Gudang Garam dan Djarum. Terutama (jenis) Virginia dalam bentuk rajangan. Sedangkan (jenis) Jawa dari Kecamatan Sugihwaras biasa dijual dlm bentuk lembaran masih hijau. Sekarang ini sudah tidak ideal lagi nanam tembakau, jelasnya.
Awal musim penghujan cocok dimanfaatkan untuk menanam lelabuan, palawija, dan padi. Pengamat pertanian asal Kecamatan Kalitidu ini menganjurkan petani padi untuk segera menanam lebih awal. Sebab diprediksikan harga gabah ke depan akan menurun seiring dengan kebijakan impor beras dari Vietnam oleh pemerintah. “Kalau petani panennya bersamaan dengan panen raya, pasti harganya hancur. Contohnya akhir Desember baru tanam, awal Maret saat panen pasti akan hancur lagi. Selama pemerintah masih mengintervensi harga beras, petani tidak bisa berbuat banyak,” ungkapnya.
Darsan menambahkan, sebenarnya masyarakat lebih menyukai beras lokal. Beras impor akan dimunculkan oleh pemerintah dalam momen operasi pasar. “Pokoknya saat harga beras naik, pemerintah pasti akan operasi pasar dan jual beras impor yang diberi label Bulog dengan harga murah. Psikologis pasar tiap tahun seperti itu,” tandasnya. (din/Red)