SUARABOJONEGORO.COM – Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran menggema di Pondok Pesantren ini, menghantarkan matahari yang sebentar lagi akan meniggalkan siang pertanda malam akan datang. Kegiatan ini dilakukan secara istikomah oleh para santriwan dan santriwati di Pesantren satu-satunya di Kampung yang berdekatan dengan pemukiman penduduk ini.
Namun tidak bagi Gus Annas. Disaat para santri sedang khusuk mengaji, Putra Kyai ini malah asik menyendiri dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok. Memang dari putra Kyai, Gus Anas ini satu-satunya anak yang paling nyeleneh dibandinhkan dengan saudaranya yang lain, selain jarang berkomunikasi dengan Kyai dan Ibu Nyai, pria 28 tahun dan bertubuh kurus ini sering keluar malam, tanpa ada yang tahu kemana dan apa yang dikerjakannya. Tidak hanya itu saja, dari cara berpakaiannya pun tidak menggambarkan bahwa Gus Anas ini merupakan Putra dari seorang ulama yang yang cukup disegani di kampung.
Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain seperi Gus Abdullah yang merupakan mahasiswa lulusan Al-Azhar University, dan sekarang menjadi Guru mengaji di Pesantren kami, selain itu juga ada Umi Nafisah, yang menikah dengan ulama besar dan sekaligus sukses sebagai Ibu Nyai dengan ratusan jamaahnya.
“Kasihan Kyai yang gagal mendidik Putranya yang satu ini”, kata saya dalam hati saat melihat Gus Annas yang duduk sendiri di pojok Pesantren yang asik menghisap rokok.
“Asalamualaikum Gus”, sapa saya sembari tersenyum kepadanya, namun hanya anggukan dan senyum sinis yang saya dapat.
“Gus Annas emang gitu orangnya, tidak seperti saudara-saudaranya yang sukses jadi ustad dan ustadzah”, kata Kang Markus, salah satu senior di Pesantren kami.
“Apa Pak Kyai dan Bu Nyai nggak pernah menasihati ya Kang”, tanya saya agak penasaran.
“Dulu waktu Gua Annas, pulang larut malam, Kyai sempat marah besar dan menegur Gus Annas, tapi entah gimana ceritanya Kyai malah tersenyum dan memeluk Gus Annas”, jelasnya.
Cerita Kang Markus ini malah membuat penasaran saya untuk lebih mengenal putra Kyai yang satu ini. Dari pembicaraan baik dari para santri dan masyarakat sekitar Pesantren, mereka mengaku enggan berkomunikasi dengan Gus Annas, karena kebanyakan dari mereka telah menganggap Gus Annas ini kurang waras dan gila.
“Dari penampilannya Gus Annas yang awut awutan saja sudah tidak mencerminkan kalau dia orang yang alim dan berilmu, jauh sekali dengan saudara-saudaranya”, kata Pak Samsuri warga sekitar.
“Iya bahkan saya belum pernah melihat Gus Annas, mengaji, sholat berjamaah atau rutinitas keagamaan yang lain”, sahut Pak Soleh mensetujui pembicaraan dan seolah membenarkan pernyataan Pak Samuri itu.
“Jangan bergunjing Pak, nggak baik”, kata saya yang dari tadi hanya asik mendengarkan obrolan bapak-bapak ini, sambil berpamitan pulang menuju Pesantren.
Sesampainya saya di halaman pesantren, seperti biasanya saya lihat Gus Annas duduk sendiri, hanya ada secangkir kopi dan sebungkus rokok serta umbi-umbian disampingnya.
“Sendirian Gus” kata saya yang berusaha mengakrapkan diri.
“Iya”, jawab Gus Annas singkat, dengan raut muka yang datar.
“Boleh saya temani”, tanpa menuggu persetujuannya saya duduk disampingnya, sembari menjulurkan tangan isyarat mengajaknya bersalaman.
Lama kami duduk tapi kami berdua hanya diam tanpa ada yang mengawali pembicaraan. Tiba-tiba Gus Annas, menyeruput dan menghabiskan kopinya dan berdiri memandang saya.
“Mau ikut saya”, katanya mengagetkan ku.
“Malam-malam begini mau kemana Gus”, jawab saya keheranan.
“Tidak usah banyak tanya, kalau mau iku ayo”, ujarnya sembari melangkahkan kakinya.
Seperti kerbau dicocok hidung, saya mengikuti langkah Gus Annas. Hampir tiga kilo dari arah utara Pesantren kami, aku mengikutinya dan akhirnya kami sampai disebuah hutan yang aku sendiri tidak tahu dimana tepatnya, hutan yang cukup perawan dengan pepohonan yang sangat lebat. Saya sendiri merasa asing dengan hutan ini.
“Ini dimana Gus, dan kita mau kemana”, kata saya kebigungan.
“Tidak usah banyak tanya, ikut saja”, kata Gus Annas yang terus saja melangkahkan kakinya tanpa menoleh kearah ku yang sejak tadi kebigungan.
Rasa capek dan lapar membuat langkah kaki ku semakin berat mengikutinya. Hingga pada akhirnya Gus Annas berhenti ditepi sungai dan berkata.
“Kita istirahat sejenak”, katanya sambil duduk disebuah batu besar dipinggiran sungai.
“Kamu lapar”, sambung Gus Annas yang melihat saya duduk lemas menahan capek dan lapar. Saya hanya mengangguk kan kepala mengiyakan pertanyaannya.
Tanpa banyak bicara Gus Annas memasukkan kedua tangannya ke dalam sungai. Alangkah terkejutnya saya saat melihat segerombolan ikan yang besar menghampiri tangan Gus Annas yang terus mengobok obok sungai. Entah dari mana ikan-ikan itu terus berdatangan, layaknya tahanan perang ikan tersebut seperti pasrah saat Gus Annas mengambil dua ekor. Melihat ikan-ikan yang terus berdatangan itu membuat saya ingin ikut andil mengambilnya.
“Jangan rakus, dua ekor ikan ini sudah cukup membuat kita kenyang”, katanya.
Saya tidak menghiraukan ucapan Gus Annas, yang membawa dua ekor ikan itu kedarat, karena saya masih takjup melihat pemandangan yang menurut saya luarbiasa ini.
“Kelihatannya kamu sudah kenyang ya”, ucap Gus Annas yang seketika membuyarkan lamunan ku.
Saat aku menoleh kearahnya ternyata Gus Annas sedang sibuk dengan bakaran ikan hasil tangkapannya. Tanpa banyak tanya dari mana ia mendapatkan api dan kapan menyalakannya, aku langsung menghampiri dan menemaninya membakar ikan.
“Sebenarnya kita mau kemana Gus, dan bagaimana ikan-ikan itu tiba-tiba bergerombol dan mudah sekali menagkapnya”, tanya saya yang dari tadi masih keheranan.
“Sudah berapa kali saya bilang, jangan banyak tanya”, jawabnya.
Tiba-tiba Gus Annas yang berbalik bertanya kepada saya.
“Apa kamu menganggap ku gila dan aneh”, tanyanya.
Sontak saja pertanyaan itu mengagetkan ku, tanpa bicara aku menundukkan kepala dan menggelengkan kepala. Tiba-tiba Gus Annas berdiri dan mengandeng lengan tanganku, melangkahkan kakinya dan berjalan menuju sungai. Lagi-lagi saya dikejutkan olehnya, Gus Annas mengajak saya berjalan diatas air layaknya berjalan ditanah. Hal ini membuat seluruh tubuh saya bergemetaran saking takutnya.
“Jangan banyak bertanya, ikut saja”, katanya.
Setelah sampai ditepi sungai Gus Annas melepaskan genggaman tangannya, dan menuju sebuah gubuk kecil, sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Sekilas memang tidak ada yang aneh dalam gubuk itu, hanya ada sebuah tikar berukuran kecil di dalamnya. Kemudian Gus Annas, menuju belakang gubuk tersebut. Dibelakang gubuk nampak sebuah Padasan kecil yang cukup bagi kami berdua untuk mensucikan diri. Disaat saya selesai mengambil wudhu, tiba-tiba saya dikejutlan kembali dengan kejadian yang sangat aneh dan luar biasa. Entah darimana asalnya tiba-tiba Gus Annas, sudah mengenakan pakaian yang serba putih bersih lengkap dengan sorban dikepalanya, wajahnya bercahaya, jauh dari penampilannya yang sebelumnya. Saya yang dari tadi mengaguminya hanya bisa melonggo dibuatnya.
“Ayo sholat dulu”, katanya.
Saya berdiri dibelakang Gus Annas, dan mengikuti setiap rakaatnya. Suaranya yang indah dan lantang, setiap melafalkan ayat-ayat Al-Quran dari bibirnya membuat hati saya tenag dan nyaman. Seumur hidup saya menunaikan sholat berjamaah inilah yang menurut saya sangat luarbiasa. Setelah salam dan berdoa Gus Annas, memutarkan badannya dan kembali bertanya pada saya.
“Apa kamu dan orang-orang lain menganggap ku gila”, katanya.
“Tidak Gus”, kata saya menundukkan kepala.
“Tidak usah berbohong”, katanya, yang membuat ku semakin tertunduk semakin malu.
“Apa cara penampilanku, dan sikap diamku membuat semua orang lain menganggapku gila, atau mingkin aku ini yang berbeda dengan sausara saudari ku yang sukses menjadi ulama yang dikenal masyarakat. Kalau memang penampilan yang menjadi tolak ukur kehormatan manusia, sangatlah pantas kalau para para koruptor itu dihormati. Kalau penampilan yang menjadi tolak ukur keimanan manusia, maka Abu lahab, Abu Jahal, Firaun sangatlah pantas untuk menyandang predikat orang paling beriman, karena penampilannya yang mewah”, nasihat Gus Annas ini membuatku bergetar dan membuat ku merasa malu, pernyataannya ini benar-benar menelanjangiku.
“Ketahulah, aku ini hanyalah seorang hamba, aku takut jika orang-orang melihat ku beribadah akan timbul sifat ujub, dan riya di hati ku. Biarlah hanya aku dan Allah yang tahu akan diri ku”,. Gus Annas terus menasihati ku yang dari tadi hanya mengangguk anggukkan kepala. kali ini semua ucapan yang keluar dari mulutnya mengandung kata-kata hikmah yang membuat ku mengerti akan apa yang selama ini Gus Annas kerjakan. Tiba-tiba Gus Annas, kembali memutar tubuhnya menghadap ke Kiblat, seraya berkata.
“Sekarang kau telah faham, pulanglah”, katanyanya sembari mengangkat kedua tangannya dan berdoa.
Alangkah terkejutnya saya yang tiba-tiba terbangun dari tidur dan mendapati Gus Annas yang masih disamping saya dengan pakaian yang masih sama, awut-awutan. Aku masih kebingungan dengan kejadian yang barusan aku alami tadi.
“Apa tadi itu nyata atau kejadian tadi hanya mimpi”, kata ku dalam hati, yang dari tadi masih kebingungan. Tiba-tiba Gus Annas, membuyarkan kebinguan ku.
“Sudah bangun Kang, tolong ini dibersihkan ya”, katanya, sambil menepuk punggung ku. Alangkah terkejutnya saya saat melihat tulang-tulang ikan dan bekas bara api yang masih menganga dan berasap.
Hingga saat ini Gus Annas tetap menjadi sosok yang masih mistirus bagi saya dan santri-santri pondok yang lain. (bim/yud)
Reporter: Bima Rahmat
Editor: Wahyudi