suarabojonegoro.com – Belakangan ini publik diramaikan dengan berbagai persoalan yang muncul karena media sosial, banyak sekali berita yang belum tentu kebenarannya, namun serta merta dibagikan oleh pengguna media sosial. Hal ini tentu berakibat maraknya berita yang tidak jelas dan belum tentu kebenarannya atau yang sering di sebut dengan berita “Hoax” yang meresahkan masyarakat.
Merujuk pada arti kata “Hoax” yaitu berita yang tidak benar atau bohong (tentang berita, pesan, dan sebagainya) kata tersebut sudah terdaftar di Kamus besar Bahasa Indonesia ( KBBI) edisi V
(Sumber : https://kbbi.kemdikbud.go.id/)
Para penulis yang menggunakan Bahasa Indonesia kini bisa menggunakan ejaan “Hoaks” dengan tanpa “ks” di belakang sebagai bentuk kata serapan dari bahasa asing “hoax” yang belakang kerap ramai digunakan, terutama di ranah media sosial.
Sebagai salah satu contoh untuk mengurangi maraknya berita Hoax di media sosial, Jawa Pos juga telah menyediakan halaman khusus untuk membahas permasalahan ini. Jawa Pos memberi ruang di halaman 2 yang terbit di setiap edisinya. Publik tentu juga di buat resah, namun penyebab hoax di tengah tragedi atau bencana tampaknya sudah menjadi fenomena di masyarakat. Sebagai contoh Kicauan Palsu di Tengah Tragedi Las Vegas yang telah meresahkan masyarakat, (Jawa Pos, edisi jum’at 6 Oktober 2017), selain itu banyak klarifikasi berita Hoax yang juga di munculkan di media pertelevisian, tentunya sebagai salah satu cara penangkal untuk menanggulangi efek negatif dari berita Hoax.
Sebagai generasi penerus bangsa, terutama para remaja yang masih mudah terpancing dan tersulut emosinya, hendaknya jangan terprovokasi dengan berita – berita yang marak berseliweran di media sosial. Kita tentu tidak bisa menghindari berbagai polemik tersebut, akan tetapi dengan berfikir dulu dan tidak ikut ikutan menge-share atau membagikan ke pengguna lain, tentu dapat mengurangi akibat-akibat buruk yang mungkin timbul karena perbuatan kita, sehingga bijaklah dalam bersosial media, gunakan sosial media sesuai dengan fungsi semestinya tanpa menjadikan polemik sebagai akibat yang harus di perdebatkan dalam masyarakat. (*)