“Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Bila tiada bermimpi, apalah jadinya hidup. Kehidupan yang sebenarnya kejam”
Di hari Kartini, sedikit saya ingin merefleksikan sosok Raden Adjeng Kartini untuk meneladani semangant perjuangan dan buah pemimikiran kritisnya. Saya memang tidak pernah berjumpa dengan Kartini. Namun, saya merasa semangat perjuangan Kartini sangat dekat dengan saya.
Saya mengagumi sosok Kartini, karena salah satu perjuangannya melalui tulisan. Bagi saya, sosok Kartini juga sang pendekar pena. Kartini merupakan penulis perempuan pertama yang karyanya dimuat di media Belanda.
Pada 1898, diusianya 19 tahun. Tulisannya yang berjudul ‘Upacara Perkawinan Pada Suku Koja’ diterbitkan dalam jurnal. Ia juga pernah menulis di majalah De Echo (majal Belanda) dengan nama samaran, tiga bersaudara.
Raden Adjeng Kartini, satu dari sedikit perempuan Indonesia yang ditetepkan sebagai Pahlawan Nasional. Lahir dari keluarga Ningrat tidak membuat ia termanjakan, buah pikirnya selalu haus akan ilmu pengetahuan. Selalu gelisah melihat penindasan dan isu-isu kemanusiaan.
Raden Adjeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Kartini adalah anak Bupati Jepara, Raden Mas Aryo Adipati Sosroningrat dengan garwa ampil atau selir Ngasirah. Dimasa mudanya, Kartini merupakan sosok yang cerdas dan kritis.
Meski sudah masuk dalam pingitan sejak usia 12 tahun, Kartini tidak pernah berhenti belajar. Kegemaran Kartini membuatnya tumbuh sebagai sosok yang kritis. Segera ia menyadari diskriminasi yang dialami anak laki-laki dan perempuan dimasanya.
Melalui kegemarannya menulis, ia pun menjalin korespondensi dengan sahabat penanya di Belanda. Tidak hanya itu, Kartini juga mewujudkan cita-citanya secara langsung dengan membuka sekolah bagi anak-anak perempuan.
Kartini akhirnya bersedia dinikahi Bupati Rembang, Adipati Joyo Adi Diningrat. Kartini meninggal dalam usia 25 tahun 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anaknya Raden Mas Susali.
Saat ini, karya-karya kartini tetap terpelihara. Salah satunya melalui kumpulan surat-surat Kartini.
Dalam sebuah acara diskusi kecil, cucu adik bungsu Kartini, Asri Miminingtias menceritakan sosok RA Kartini. Kartini merupakan sosok penuh dengan kelembutan. Disamping itu, Kartni memiliki kemauan keras untuk memperjuangkan perempuan untuk mendapatkan kebasan, kemerdekaan dan persamaan.
Kartini selalu bergerak dan selalu ingin sesuatu yang baru. Selain itu, selalu menanyakan apa yang belum ia ketahui dari buku-buku dan dari apa yang ia dengar dari Ayahandanya. Saat Kartini remaja, ia terlalu lincah. Ibarat seperti burung. Terbang kesana dan kemari.
Dari kelincahannya itu, Kartini kecil mendapat julukan ‘trinil’. Lincah selalu bergerak, selalu ingin tahu, kritis dan selalu bertanya. Pada masanya, masyarakat Belanda sempat terheran-heran dengan sosok Kartini. Sebab ada sosok anak remaja yang memiliki pemikiran yang brilian.
Latar belakang keluarga dan sosok Ayah handanya yang ingin maju, merupakan salah faktor Kartini memiliki pemikiran yang cerdas dan kritis. Saat itu, hidup Kartini juga penuh dengan tekanan. Melihat ibunya yang tinggal di rumah bagian belakang. Tidak tinggal bersama-sama Kartini dan yang lain.
Kemudian, itulah yang ingin diperjuangkan oleh Kartini. Memperjuangkan persamaan hak. Diceritakan, Ngasirah ibunda Kartini, merupakan sosok yang sayang dengan anak-anaknya. Selalu mendampingi anak-anaknya dalam situasi dan kondisi apapun.
Saat itu, Kartini ingin belajar di Negeri Belanda untuk belajar menjadi seorang guru. Dan sepulang dari belajar, Karini ingin mendirikan sekolah untuk mendidik para kaum perempuan dari putri-putri kepala pemerintahan. Semua itu untuk mencerdaskan mereka. Begitulah cita-cita Kartini.
Menurut saya sosok Kartini merupakan sosok yang tangguh. Ia sudah tiada. Namun, bagi saya sosok Kartini masih ada. Sebab, karya-karya nyata Kartini masih terpelihara dengan baik. Buah pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, senantiasa memberi semangat bagi kaum muda.
Selamat Hari Kartini 2018. Semangat pejuangan dan buah pemikiran kritis Kartini, hendaknya tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan saja. Namun, juga kaum laki-laki. Sama-sama meneladani buah perjuangan dan pemikiran Kartini.
Kartini senantiasa berjuang untuk mendapatkan persamaan dan kemerdekaan pada masanya. Dimasa sekarang, senantiasa para pemuda terus berjuang melawan kebodohan dan penindasan. Melawan kesewenang-wenangan. Para pemuda-pemudi, bangkitlah dan bergeraklah. Lawan kesewenang-wenangan.
Salam..!!!
Penulis : Mujamil Edi Wahyudi, Pemred SuaraBojonegoro.com, Alumnus Fakultas Dakwah Prodi BKI STAI Attanwir, Alumni PK PMII Attanwir.