Arahan Terakhir Bupati Bojonegoro

ARAHAN TERAKHIR BUPATI BOJONEGORO

Doktor Drs Suyoto MSi

Keputusan untuk mencalonkan diri menjadi bupati mengingatkans saya pada masa kecil saya dulu. Dulu saya dan teman-teman di kampung bermimpi agar suatu hari kelak, ada satu orang dari kami menjadi kepala desa. Kami berfikir, kalau kepala desa adalah salah seorang dari kami maka keinginan-keinginan kami untuk melakukan perubahan di desa akan dapat diwujudkan.

Mimpi masa kecil yang sempat belum terwujud itu sepertinya berulang ketika saya dewasa. Pencalonan saya sebagai bupati adalah karena keinginan saya untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi terlibat langsung dalam pembangunan dan mewujudkan dalam pembangunan dan perubahan di Bojonegoro menuju arah yang lebih baik.

Bukan keputusan yang mudah bagi saya dan keluarga, karena waktu itu baru dua tahun menjadi anggota DPR Jawa Timur. Mencalonkan diri menjadi bupati berarti mempertaruhkan “kenyamanan” hidup saya dan keluarga saya. Menjadi bupati juga berarti keluarga saya harus mengiklaskan saya untuk menjadi “milik” orang banyak.

Menjadi bupati juga berarti merelakan diri untuk dihujat dan dipersalahkan. Tetapi dengan dukungan dari keluarga dan orang-orang di sekitar saya waktu itu, maka tekad dan niat saya semakin terkuatkan. Hingga akhirnya pada hari ini berdiri disini, setelah hampir 10 tahun lembaran hidup saya terisi sebagai Bupati Bojonegoro.

Baca Juga:  KPU Bojonegoro Serahkan Alat Peraga dan Bahan Kampanye

Di lembaran itu ditorehkan berbagai cerita, baik cerita yang indah dan yang tidak, yang menulisnya adalah segenap masyarakat Bojonegoro. Lembaran-lembaran itulah yang nanti akan saya pertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat kelak, seperti sumpah saya di awal jabatan dulu.

 

MEMAHAMI HAKIKAT PEMBANGUNAN

“Ternyata esensi pembangunan adalah membangun kapasitas bersama, menemukan masalah, merumuskan solusi, memilih prioritas dan menyelesaikan masalah secara bersama-sasa”

Solusinya harus melalui kolaborasi. Kolaborasi hanya bias terjadi jika ada saling percaya (mutual trust), dan mutual trust hanya bias terjadi jika ada ruang komunikasi yang efektif.

 

Apa yang saya pelajari selama sepuluh tahun ini adalah…

Saya dulu membayangkan saya ketika kampanye seolah-olah saya bisa selesaikan semua masalah di Bojonegoro. Ambisi saya turun ketika ternyata sadar punya hutang banyak, saya sadar berhadapan dengan manusia yang punya kemauan berbeda-beda.

Saya tadinya paling takut dibentuk oleh kekuasaan. Setelah saya menjabat, awalnya saya kira saya yang mempengaruhi kekuasaan. Ternyata malah saya yang jadi dipengaruhi kekuasaan. Misalnya, saya akhirnya jadi bangun jam segini. Saya harus berkompromi dengan banyak orang. Kadang saya harus mengalah untuk tidak memaksakan kehendak.

Baca Juga:  Digandengnya Nurul Azizah Oleh Setyo Wahono, Tidak Meninggalkan Nafik Sahal Yang Sebelumnya Akan Berpasangan di Calon Independen

Menurut saya, 60 persen saya sadar bahwa saya mempengaruhi kekuasaan, 40 persen saya dikuasai. Karena saya, lingkungan birokrasi dan rakyat ini saling mempengaruhi. Akhirnya saat ini saya sadar bahwa pembangunan itu adalah bagaimana bergerak bersama untuk masa depan yang lebih baik. Termasuk juga bagaimana saya memilih untuk menjadi pelatih pelatih bukan menjadi komendan. Karena menjadi pemimpin bagi saya bukanlah tentang seni memerintah tapi seni mempengaruhi.

Memimpin juga bukan hanya tentang memimpin, memimpin adalah bagaimana berkehendak, berniat memelihara niat. Terutama juga bagaimana mencintai.

Terimakasih kepada semua pihak yang telah menjadi kawan selama 10 tahun memimpin Bojonegoro. Mas Hartono, Wakil Bupati Bojonegoro yang telah menjadi senior sekaligus kawan. Saya tidak akan sampai seperti ini tanpa orang-orang hebat disekitar saya, baik yang dekat maupun yang jauh. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *