Oleh : Mochamad Mansur, S.H., M.H.
SuaraBojonegoro.com – Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang melibatkan Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, menjadi sorotan besar di Indonesia, tidak hanya karena melibatkan seorang pejabat tinggi polisi, tetapi juga karena banyaknya permasalahan hukum yang timbul selama proses penyidikan dan persidangan. Pada 13 Februari 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap Ferdy Sambo setelah terbukti menjadi otak dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Berdasarkan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, yang mengatur bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dapat dikenakan hukuman yang sangat berat, termasuk hukuman mati.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo menimbulkan perdebatan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan praktisi hukum. Di satu sisi, banyak pihak yang mendukung keputusan ini dengan alasan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Sambo sangat berat dan melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga hukuman mati adalah hukuman yang setimpal.
Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan rehabilitasi pelaku kejahatan. Di Indonesia, hukuman mati masih berlaku, tetapi ini sering menjadi topik perdebatan, khususnya terkait dengan kesalahan dalam penerapan hukuman atau potensi penyalahgunaan hukum.
*)Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro.