PUASA, MELAWAN KESOMBONGAN INTELEKTUAL

Oleh : H. Sholikin Jamik

SuaraBojonegoro.com – Dalam obrolan santai pasca buka puasa dalam acara bimbingan tehnis Pengadilan Tinggi Agama Surabaya yang di hadiri
Pengadilan Agama se jawa timur tanggal 14-15 Maret 2024 di Hotel Aria Bintang 5 Surabaya, masih saja ada yang mempermasyalahkan perbedaan dan merasa pendapatnya paling benar dan celakanya lagi orang atau ormas yang tidak mau mengikuti pendapatnya (baca termasuk pendapat penguasa) dianggap salah serta tidak taat alias membangkang. Penulis berpendapat itu narasi berfikir yang mengarah pada keangguan .Padahal Keangkuan bisa berpotensi menghilangkan makna, hakikat, dan fungsi utama berpuasa.
Sungguh merugi, bila berpuasa diwarnai perselisihan yang dapat merusak puasa itu sendiri. Bukankah setiap muslim diajari tasamuh atau toleransi dalam perbedaan. Bila berbeda keyakinan beragama saja mampu bertoleran, kenapa dalam perbedaan praktik beribadah sesama Muslim mesti berselisih yang mengarah konflik. Jika muslim sedang berpuasa diajak bertengkar, bukankah Nabi mengajarkan agar menahan diri, “inni sha’imun”. Aku sedang berpuasa!

Bukankah perbedaan itu hikmah. Puasa istimewa mampu menaklukkan hawa nafsu dan segala keangkuhan diri yang merasa serba digdaya untuk tetap menjadi insan biasa. Insan bertakwa itu tawadhu atau rendah hati, tidak menjadi manusia yang angkuh diri.
Kembali ke puasa Ramadhan. Setiap tahun dia hadir bersama kaum muslimun. Adakah puasa rutin per tahun itu telah menjadikan insan muslim makin bertakwa sebagaimana tujuan berpuasa “la’alakum tattaqun” (al-Baqarah: 183). Orang bertaqwa memiliki seluruh sifat kebaikan dan keutamaan, yang mengantarkan dirinya menjadi insan paling mulia di sisi Tuhan (al-Hujarat: 13).

Puasa akan menjadi mikraj rohani tertinggi menuju takwa bilamana puasanya menurut Imam Al-Ghazali mencapai tingkatan khawas al-khawas, yakni puas khusus bagi orang yang khusus. Itulah puasa tingkat istimewa!

Puasa istimewa mampu menaklukkan hawa nafsu dan segala keangkuhan diri yang merasa serba digdaya untuk tetap menjadi insan biasa. Insan bertakwa itu tawadhu atau rendah hati, tidak menjadi manusia yang angkuh diri, sebagaimana salah satu ciri hamba kekasih Tuhan (ibadurrahman), yaitu: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam” (al-Furqan: 63).

Baca Juga:  ORANG YANG MATI SYAHID, PERTAMA KALI DI LEMPAR KE NERAKA (bagian pertama)

Tuhan melarang manusia angkuh diri atau sombong. Allah berfirman, yang artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18).

Sombong itu perangi iblis, sebagaimana digambarkan Tuhan, yang artinya, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur maka ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 34).

Manusia yang sombong sabda Nabi, cirinya dua yakni merasa diri paling benar dan suka merendahkan orang lain (HRMuslim). Dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan relasi kemanusiaan semesta mereka yang sombong merasa paling digdaya, paling benar, dan paling baik melebihi yang lain. Pihak atau orang lain dianggapnya lemah, buruk, salah, sesat, dan sederat sifat negatif lainnya.

Dalam beragama pun merasa “semuci”, paling benar dan suci sendiri. Padahal Tuhan mengingatkan, yang artinya “Maka, janganlah menganggap diri kalian suci, Dialah (Allah) yang paling mengetahui siapa yang paling bertakwa di antara kamu” (al-Najm: 32).

Mereka yang angkuh atau sombong diri, sering dengan mudah menegasikan orang lain. Dirinyalah pejuang kebenaran sejati. Orang lain termasuk sesama seiman dianggap pengecut, lembek, dan pengkhianat hanya karena berbeda pandangan dan cara dalam perjuangan kehidupan yang tidak sejalan dengan dirinya. Pihak lain di luar dirinya diposisikan menjual-belikan kebenaran, bahkan kompromi dan membenarkan kemungkaran, karena tidak berkesesuaian dengan pandangannya. dalil al-Quran dan Hadis Nabi pun dengan mudah dipakai menstigma pihak lain.

Baca Juga:  KEISTIMEWAAN AKHIR RAMADHAN

“Orang berilmu pun bisa terjangkiti kesombongan. Dirinya merasa paling benar dan paling tinggi ilmunya, yang lain dianggap bodoh dan rendah. Orang berilmu kadang mudah mengkritik pihak lain dengan keangkuhan keilmuannya.”

Tahta, harta, dan kedigdayaan dunia sering menjadikan manusia angkuh diri atau sombong. Orang berilmu pun bisa terjangkiti kesombongan. Dirinya merasa paling benar dan paling tinggi ilmunya, yang lain dianggap bodoh dan rendah. Orang berilmu kadang mudah mengkritik pihak lain dengan keangkuhan keilmuannya. Mereka yang berbeda pandangan dengan dirinya dianggap keliru, salah, dan nirkebenaran. Karena angkuh diri, ketika dikritik akan muncul pertahanan diri (self-defense mechasnism) yang tinggi, padahal dirinya terbiasa mengkritik orang lain.

Manusia yang angkuh diri sejatinya bertuhankan berhala dirinya yang merasa paling digdaya segala hal. Mereka yang angkuh diri, karena kesombongannya yang membatu maka hatinya dikunci Tuhan, “…….demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (al-Mukmin: 35). Nasib yang angkuh diri, menurut sabda Nabi ”Para penghuni neraka adalah orang-orang yang keras kepala, kasar lagi sombong.” (HR Bukhari dan Muslim). Naudzubillahi min dzakika! Semoga kita kaum beriman dijauhkan dari petaka akibat congkak diri yang membawa prahara.

Puasa itu menaklukkan diri yang bermahkotakan hawa nafsu serba digdaya, yang oleh Jalaluddin Rumi disebut “ibu dari semua berhala”. Menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis adalah penanda menaklukkan segala kuasa diri yang bersifat serbainderawi dan serbadunia. Puasa dapat membebaskan diri dari segala sangkar besi kedigdayaan.

Maka, jadikan puasa sebagai ruang refleksi tertinggi yang menembus jantung mata hati terdalam. Agar terbentuk karakter insan bertakwa yang autentik nan rendah hati. Dirinya hanya hamba biasa di bawah Kuasa Tuhan Yang Maha Segala. Semoga dengan berpuasa menjadikan diri setiap insan Muslim siapapun dia, makin rendah hati dan tidak terjangkiti virus angkuh diri!

*)Penulis :Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro