Pro dan Kontra Tiktokshop, Ini Pendapat Akademisi Unigoro

SuaraBojonegoro.com — Pedagang di pasar tradisional merasa terganggu dengan kehadiran marketplace di media sosial (medsos) Tiktok atau yang akrab disebut Tiktokshop. Sebagian pedagang mendesak agar transaksi jual dan beli di aplikasi tersebut ditutup. Karena membuat masyarakat enggan berbelanja lagi di pasar tradisional dan selisih harga jualnya terbilang jauh.

Anang Khoirul Huda, mahasiswa semester tiga prodi ekonomi pembangunan Universitas Bojonegoro (Unigoro), yang juga menekuni usaha pembuatan cover jok mobil, menilai jika transaksi jual dan beli di Tiktok tidak terlalu memberi dampak yang signifikan. Sehingga dia harus memasarkan cover jok mobil buatannya di e-commerce lain seperti Shopee.

 

“Soalnya lebih laku di Shopee. Saya juga masih jualan di Tiktokshop, tapi jarang dapat orderan. Sekarang masih tergantung jualan via online. Soalnya saya belum punya bengkel sendiri untuk jualan offline,” ungkapnya, pada Jumat (29/9).

Menurut Anang, pro dan kontra berdagang di Tiktok bisa diatasi dengan cara pemisahan aplikasi sesuai dengan fungsinya. “Semoga ke depan Tiktokshop memiliki izin terpisah sebagai e-commerce, jadi nggak digabung dengan medsos Tiktok aslinya. Dan saya berharap diskon yang ditentukan oleh Tiktok tidak terlalu banyak. Sehingga membuat harga barang terlihat jauh lebih murah dibanding beli offline,” imbuh mahasiswa asal Kecamatan Dander ini.

Baca Juga:  Unigoro Serahkan 14 Ekor Hewan Qurban Ke Pemdes Kalirejo

Senada dengan pendapat mahasiswanya, Dosen Fakultas Ekonomi Unigoro, M. Rizqi Agustino, S.Kom., MBA., menilai rencana pemerintah yang ingin menutup transaksi di Tiktokshop justru akan menimbulkan problematika baru. Pasalnya, salah satu penyebab mengapa pedagang pasar tradisional tidak setuju dengan sistem penjualan langsung atau live shopping di Tiktok karena merasa ditinggalkan oleh pelanggannya. “Bisa saja kebijakan larangan Tiktokshop ada campur tangan dari e-commerce lain yang merasa tersaingi. Padahal di Indonesia, penjualan online masih dikuasai e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan sebagainya,” terangnya.

Rizqi melanjutkan, seorang pebisnis wajib beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi dan pergeseran kebiasaan masyarakat dalam berbelanja praktis. Semula berbelanja langsung di toko atau offline, beralih ke belanja online. Sehingga permasalahan antara pedagang pasar tradisional dan pedagang online bukan karena model atau cara berjualannya yang berbeda.

Baca Juga:  PKKMB, Unigoro Gelar Baksos di 25 Titik

 

“Tetapi memang sejak pandemi Covid-19, masyarakat mulai terbiasa menggunakan teknologi dan beraktivitas di ranah digital. Termasuk transaksi jual dan beli,” imbuhnya.

Direktur Student Advance Program (SAP) Unigoro ini menambahkan, ada solusi untuk meredam konflik antar pedagang pasar tradisional dan pedagang online. Yakni pemerintah mengatur regulasi penetapan harga. Harga barang pada bisnis yang berbasis online jangan sampai selisihnya lebih murah dibandingkan di toko offline. “Jadi ada kemungkinan masyarakat tetap berbelanja ke pedagang toko offline, karena pertimbangan harga yang tidak jauh beda dengan di toko online,” pungkas Rizqi. (din)