Inilah Sikap Aliansi Peduli Perempuan dan Anak Bojonegoro Terhadap FGD Raperda Perempuan dan Anak

Reporter : Sasmito Anggoro

SuaraBojonegoro.com – Pembahasan Raperda Perlindungan Perempuan. Kedua, Raperda Perlindungan Anak Pada Focus Group Discussion (FGD), tanggal 7 Desember 2022 kemarin di room service gedung pemkab Bojonegoro, ada beberapa poin yang menjadi perhatian Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APPA) Bojonegoro.

Disampaikan oleh Koordinator APPA Kabupaten Bojonegoro, Nafidhatul Hima, bahwa pihaknya
Mengusulkan pemisahan draft raperda menjadi tiga, yaitu Raperda Perlindungan Perempuan, Raperda Perlindungan Anak, dan Raperda Pengarus Utamaan Gender (PUG).

“Hal itu karena pembahasan yang berbeda. Akan tetapi, sangat disayangkan jika DPRD dalam hal ini Komisi C dan Bapemperda yang masih memaksakan draft Raperda ini menjadi satu kesatuan atau tidak perlu dipecah,” Ujar Nafidhatul Hima, Jum’at (8/12/2022).

Dirinya juga berharap Memasukkan UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Termasuk mencantumkan jenis kekerasan perempuan dan anak seperti normalisasi (menyepelekan dan menganggap enteng) praktik kekerasan (bullying) di sekolah, kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, aborsi, traficking, kekerasan cyber.

“Perlu adanya perubahan atau pencabutan terhadap perda yang sudah ada, yaitu Perda Nomor 10 tahun 2011 tentang Pelayanan Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Mengapa demikian? Agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan,” Terangnya.

Disampaikan juga bahwa Meskipun nanti akan ada banyak perubahan dan penambahan setidaknya DPRD Kabupaten Bojonegoro perlu memperhatikan perda yang lama yang sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Penambahan poin pada bagian kesatu tentang Hak Perempuan, yaitu hak bebas dan aman dari tindak kekerasan.
Penambahan poin pada bagian kedua tentang hak anak, yaitu hak anak bebas dan aman dari tindak kekerasan, dan Ada upaya pencegahan dan penanganan yang berkesinambungan Melalui sosialisasi kepada kelompok sasaran, baik perempuan dan anak.

Baca Juga:  Angka Perceraian dan Nikah Dibawah Umur di Bojonegoro Tinggi, Begini Kata APPA!

“Hal itu Termasuk saat penanganan dan pendampingan jika telah ada korban, harus tuntas hingga korban merasa aman kembali. Bebas dari ancaman dan tekanan pelaku,” Ujar Perempuan yang juga Presidium Wilayah Jawa Timur KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) ini.

Selain itu, Memperjelas peran dan fungsi SATGAS desa (SOP Satgas, Peningkatan SDM, Sosialisasi, Konseling Satgas dan tempat pengaduan masyarakat desa).
Pentingnya Pendidikan parenting kepada masyarakat secara berkala (Sekolah, Keluarga, Perguruan Tinggi, Lingkungan Masyarakat).
Pemerintah Ketika membuat perencanaan dan anggaran harus sesuai PUG atau Gender Mainstreaming, Karena APBD Bojonegoro juga sangat besar.

“Perlunya pencegahan, penanganan, rehabilitasi, sosialisasi, edukasi, dan mekanisme perlindungan terhadap masyarakat dan korban kekerasan,’ Katanya.

Pihaknya juga memint untuk Isi raperda harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal
Harus ada alur pelayanan online dan offline korban kekerasan secara jelas. Pentingnya layanan terpadu dan membentuk forum PPA yang akan digunakan sebagai pendampingan bagi korban agar merasa aman. Pentingnya bantuan hukum untuk melindungi korban dan saksi dari intimidasi. Perlu adanya konselor sebaya dan pendamping korban harus mempunyai sikapempati yang tinggi.

Terkait poin sanksi pada bab X draft raperda juga perlu ada kajian ulang. Apabila hanya sanksi administrasi pelaksanaannya dikhawatirkan akan kurang maksimal. Tugas pemerintah di daerah adalah Bagaimana agar peraturan yang sudah ada bisa efektif dilaksanakan sebagai tujuan dibuatnya perda itu tercapai.

Baca Juga:  Fraksi Golkar DPRD Bojonegoro Dukung Pembahasan Kembali Raperda Dana Abadi Migas

Pemerintah juga harus Memfasilitasi masyarakat atau korban tidak takut melapor, misal dengan adanya hotline 24 jam, rumah/fasilitas aduan, konseling terhadap korban, dan sebagainya, jug Pendampingan dari hulu sampai hilir, Perlindungan dari ancaman dan tekanan saat proses hukum berlangsung (semacam LPSK).

“Harus ada instrumen yang jelas melaksanakan poin tersebut di atas beserta maintenance penunjangnya, misal UPTD PPA, Lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat.
Anggaran yang jelas dan bisa diterapkan serta diserap secara maksimal,” Tegasny.

Hima juga meminta agar Membuat perda atau aturan yang paling penting bisa dilaksanakan dan berlaku efektif (law enforcement). Sehingga instrumen-instrumen pendukung harus jelas (operator pelaksana, anggaran, maintenance termasuk keterlibatan lembaga independen dari masyarakat sesuai mandat dari UU TPKS tahun 2022. Sehingga Raperda ini tidak hanya menjadi sebuah aturan belaka. Harus ada implementasi yang baik dan tepat sasaran di lapangan.

APPA juga berharap FGD ini tidak hanya dilaksanakan sekali, perlu beberapa kali diselenggarakan untuk menyamakan persepsi agar tujuan pembahasan Draft Raperda ini tercapai. Harus ada forum diskusi lain yang melibatkan masyarakat. Jika memungkinkan mendengar dari korban secara langsung untuk mengetahui kebutuhan apa yang bisa menjadi masukan bagi perbaikan draft Raperda. Seperti yang dijelaskan oleh lembaga pembuat naskah akademik dari Universitas Bojonegoro, Ahmad Taufik. Bahwa draft Raperda ini masih mentah dan bisa dimungkinkan ada dinamika yang terus berkembang. Dengan harapan pada tahun 2023 nanti draft ini bisa menjadi perda dan diimplementasikan. (Lis/Red/SAS)