Sidang Dugaan Korupsi BOP TPQ Bojonegoro, Apakah Shodikin Korban Salah Tangkap?

Sidoarjo, SuaraBojonegoro.com – Selain adanya perolehan alat bukti yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, sebagaimana diungkap saksi-saksi dalam persidangan sebelumnya, ada fakta menarik yang tidak bisa ditepis Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (5/4/2022).

Fakta yang dimaksud adalah bahwa apakah Sodikin korban salah tangkap?. Karena Pernyataan ini keluar dari mulut terdakwa Sodikin, berdasarkan pengakuan dua orang jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro.

Lalu, siapa nama jaksa yang sudah menginformasikan bahwa Kejari Bojonegoro sudah salah tangkap? Lebih lanjut Sodikin menjelaskan, waktu itu, ia diperiksa dikantor kejaksaan.

“Jaksa Tarjono sampai berulang kali memastikan identitas saya, apakah benar nama saya Sodikin,”ujar Sodikin.

Kemudian, lanjut Sodikin, ia juga ditanya tentang alamat rumah dan profesi atau pekerjaan sehari-hari. Dan setelah menjawab semua pertanyaan jaksa, akhirnya Jaksa Edward dan Jaksa Tarjono langsung mengatakan secara diam-diam supaya tidak didengar Sodikin, bahwa mereka telah salah menangkap orang.

‘Dibelakang saya, Jaksa Edward dan Jaksa Tarjono menilai dan mengungkapkan, bahwa mereka ini salah tangkap. Saya mendengar percakapan mereka,”ungkap Sodikin.

Hal lain yang dibongkar terdakwa Sodikin adalah terkait dengan proses penyidikannya dikantor Kejari Bojonegoro.

Terdakwa Sodikin menjelaskan, dimuka persidangan, dihadapan majelis hakim, JPU, tim penasehat hukumnya serta para pengunjung sidang, terdakwa Sodikin membongkar peristiwa penyidikan dikantor Kejari Bojonegoro, ketika waktu itu ia dipanggil dan diperiksa.

Adalah Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A yang mendapat giliran pertama untuk bertanya kepada terdakwa Sodikin.

Dimuka persidangan, Johanes Dipa bertanya, bagaimana proses pemeriksaan terhadap dirinya waktu itu.

Menjawab pertanyaan salah satu penasehat hukumnya ini, terdakwa Sodikin mengatakan, selama pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terdakwa Sodikin mengaku ditekan dan ada ancaman dari jaksa.

Kemudian, terdakwa Sodikin juga menjelaskan ke penasehat hukumnya, jika ia tidak mau mengaku, maka kortan-kortan akan dijerat dengan korupsi dan dijadikan tersangka.

Pernyataan itu menarik perhatian Johanes Dipa. Ketua Bidang Pembelaan Profesi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Surabaya lantas bertanya, jaksa siapa yang waktu itu memeriksa terdakwa Sodikin?

“Siapa jaksa yang waktu itu memeriksa saudara? Apakah jaksa yang baru saja bertanya ke saudara itu?,” tanya Johanes Dipa.

Menjawab pertanyaan penasehat hukumnya ini, terdakwa Sodikin langsung menjawab jaksa Tarjono, yang saat ini juga merangkap sebagai penuntut umum dalam perkara ini.

Jaksa Tarjono yang duduk dikursi penuntut umum hanya bisa terdiam dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar pengakuan terdakwa Sodikin tersebut.

Terkait pemeriksaannya dalam perkara pemberian dana bantuan BOP Covid-19, terdakwa menjelaskan bahwa ia sudah pernah diperiksa tahun 2020. Lalu, terdakwa Sodikin mengaku, ditahun 2021, ia dimintai keterangan dan diperiksa kembali di kantor Kejari Bojonegoro.

“Karena saya telah menuruti semua kemauan jaksa, maka pemeriksaan saya ditahun 2020 itu berhenti,” kata terdakwa Sodikin.

Johanes Dipa kembali bertanya ke Sodikin, selain dirinya, adakah orang-orang yang dimintai keterangan di kantor Kejari Bojonegoro waktu itu yang juga mendapat ancaman maupun intimidasi, kemudian mengeluhkan masalah itu kepadanya.

“Pernah suatu ketika ada beberapa pengurus kecamatan yang datang ke saya dalam keadaan menangis. Orang-orang itu ditekan dan disuruh mengembalikan,” ujar Sodikin

Yang mengembalikan pertama kali, lanjut Sodikin, satu Kecamatan Kalitidu. Mereka-mereka yang terlanjur mengembalikan uang itu, sampai meminta maaf ke Sodikin.

Hal lain yang diterangkan Sodikin adanya traumatik yang dialami beberapa orang yang diperiksa dan mendapat ancaman, tekanan saat proses pemeriksaan adalah warga yang ingin berangkat ngaji maupun beribadah, tidak mau lewat didepan kantor Kejari Bojonegoro.

Setelah bertanya tentang adanya intimidasi dan tekanan dari jaksa penyidik serta rasa trauma yang dialami para saksi ketika diperiksa dikantor Kejari Bojonegoro, Johanes Dipa kemudian bertanya ke terdakwa Sodikin tentang beberapa nama.

Nama-nama yang ditanyakan Johanes Dipa ke terdakwa Sodikin tersebut seperti Khotimatus Sa’adah, Nur Cholis, Suyuti, Sainal Maarif, Imam Muchlisin.

“Apakah saudara terdakwa mengenal dan pernah bertemu dengan Khotimatus Sa’adah, Nur Cholis, Suyuti, Sainal Maarif, Imam Muchlisin ?,” tanya Johanes Dipa.

Mendapat pertanyaan itu, terdakwa Sodikin menjawab tidak tahu dan tidak pernah mengenal. Johanes Dipa pun menjelaskan mengapa ia menanyakan nama-nama itu.

Lebih lanjut Johanes Dipa menyatakan, berdasarkan surat dakwaan JPU disebutkan jika terdakwa Sodikin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang-orang yang bernama Khotimatus Sa’adah, Nur Cholis, Suyuti, Sainal Maarif, Imam Muchlisin

Baca Juga:  Saksi Kasus Dugaan Pungli Dana Bantuan TPQ Di Bojonegoro Akui Tak Serahkan Uang Ke Terdakwa

Kepada terdakwa Sodikin, Johanes Dipa juga menerangkan bahwa, orang-orang yang ia tanyakan itu, hingga saat ini tidak pernah dihadirkan penuntut umum dimuka persidangan.

Pada persidangan ini, Johanes Dipa juga bertanya tentang asal muasal anak-anak yang terdakwa tampung di pondok pesantren atau ponpesnya.

Lebih lanjut Sodikin menjawab bahwa sebagian besar anak-anak yang menjadi anak asuhnya itu berasal dari lingkungan Bojonegoro dan sekitarnya.

Sodikin juga bercerita bahwa ada anak asuhnya itu berasal dari Majalengka yang tersesat di Kabupaten Bojonegoro yang tidak bisa sekolah. Saat ini, anak tersebut masih sekolah.

Terkait permohonan pengajuan bantuan, Johanes Dipa kemudian bertanya, bantuan itu terdakwa ajukan untuk tahap I, tahap II, tahap III, tahap IV atau secara keseluruhan?

“Berdasarkan surat dakwaan, pengajuan permohonan bantuan itu ada beberapa tahap pencairan yang totalnya 1426,” ujar Johanes Dipa.

Yang melalui saudara, sambung Johanes Dipa, itu terjadi di tahap I, tahap II, tahap III, tahap IV atau bagaimana?

“Saya bekerja atas instruksi FKPQ wilayah. Saya menerima SK dari FKPQ wilayah. Kemudian laporannya saya serahkan ke FKPQ wilayah dan itu ada tanda terimanya,” kata Sodikin.

Berdasarkan data yang saya miliki, lanjut Sodikin, jumlah penerima bantuan ada 937 lembaga. Sodikin juga mengatakan, dana bantuan covid 19 di Kabupaten Bojonegoro ini, sesuai Juklak dan Juknik, bisa melalui perorangan, bisa melalui organisasi dan kelompok.

Usai membongkar adanya intimidasi, para saksi yang ditekan ketika proses pemeriksaan, hingga adanya pernyataan jaksa yang menyebutkan salah tangkap, tim penasehat hukum Sodikin juga membongkar tentang dua perusahaan yang menjadi vendor penyedia alat prokes.

Pinto Utomo, penasehat hukum terdakwa Sodikin yang lain kemudian bertanya tentang harga-harga per item alat prokes.

Lebih lanjut Pinto bertanya, terkait harga-harga untuk masing-masing item alat prokes, apakah penentuan harga tersebut dari FKPQ wilayah atau berdasarkan harga di pasar waktu itu.

“Harga sudah ditentukan FKPQ wilayah. Untuk Kabupaten Bojonegoro, informasi dari kecamatan, alat semprot yang harganya Rp. 600 ribu dari FKPQ wilayah, dikira atau dipikir alat semprot elektrik yang tanpa dipompa,” ujar Sodikin.

Setelah diterima, lanjut Sodikin, ternyata alat semprot ini manual, yang harganya Rp. 250 ribu sampai Rp. 300 ribu.

Adanya perbedaan alat prokes yang diterima lembaga penerima bantuan tersebut dikeluhkan beberapa kortan ke terdakwa Sodikin.

Karena tidak bisa berbuat apa-apa, terdakwa Sodikin kemudian menjelaskan hal ini ke kortan-kortan yang mengadu tersebut. Kepada kortan-kortan itu, Sodikin mengatakan bahwa hal itu menjadi kewenangan FKPQ wilayah.

Pada persidangan ini, terdakwa Sodikin secara panjang lebar juga menerangkan tentang mekanisme penerimaan bantuan dana BOP dan Kabupaten Bojonegoro yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan.

Adanya pembagian dana bantuan covid ini, menurut keterangan Sodikin dipersidangan, berawal dari adanya laporan beberapa kecamatan didata untuk dibuatkan laporan pengajuan dana bantuan BOP Covid

Kemudian, terdakwa disampingi pengurus dan Kemenag Kabupaten Bojonegoro kemudian bertanya ke Kepala Kemenag Kabupaten Bojonegoro.

Kepada Kepala Kemenag Kabupaten Bojonegoro, terdakwa Sodikin bertanya, bahwa ada dana bantuan BOP Covid-19, bagaimana sikap Kemenag Kabupaten Bojonegoro.

“Apakah tidak ada surat resmi untuk melakukan pendataan bantuan BOP Covid?,” tanya terdakwa Sodikin.

Sodikin kaget ketika mendengar pernyataan bahwa waktu itu Kemenag Kabupaten Bojonegoro tidak ada surat instruksi atau perintah untuk mengajukan bantuan BOP Covid-19 bagi TPQ maupun pondok pesantren.

Karena Kemenag Kabupaten Bojonegoro tidak mengajukan surat, maka terdakwa Sodikin disarankan untuk mengajukan permohonan dana bantuan BOP Covid-19 tersebut ke orang atau kelompok yang mengajukan dana bantuan BOP tersebut.

Setelah rapat kerja (raker) terdakwa Sodikin mendapat informasi dari FKPQ Jawa Timur, bahwa FKPQ Jawa Timur diberi wewenang untuk mendata TPA/TPQ se-Jawa Timur melalui FKPQ Kabupaten se-Jawa Timur.

“Bagi TPA/TPQ yang ingin mendapatkan bantuan serupa, silahkan ajukan data nama, nomer statistik, nomor ijin operasional dari Kemenag, alamat sesuai dengan Ijin Operasi (Ijop), data santri serta perlengkapan lainnya,”papar Sodikin.

Setelah mendengar informasi yang lengkap dari FKPQ wilayah ini, terdakwa Sodikin kemudian menginformasikannya ke FKPQ Kabupaten dan mulai mengumpulkan data-data TPA/TPQ se-Kabupaten Bojonegoro serta mensinkronkan data itu supaya tidak ada data dobel dan untuk mengetahui ada kecamatan yang tidak ada TPA/TPQ-nya.

Terdakwa Sodikin juga menjelaskan, sebagai Ketua FKPQ baru, ia tidak bisa menjamin bahwa dana bantuan BOP Covid-19 itu bisa cair atau dapat diterima seluruh lembaga TPA/TPQ se-Kabupaten Bojonegoro.

Baca Juga:  Berkas Kasus Dugaan Korupsi Kades Deling Dilimpah Ke Pengadilan Tipikor

Karena tidak ada jaminan bahwa dana bantuan itu akan cair, terdakwa Sodikin kemudian memberikan keleluasaan, bagi lembaga TPA/TPQ dipersilahkan untuk mengambil sikap, tetap mengajukan dana bantuan atau tidak mengajukan.

“Setelah terkumpul 100 lembaga yang mengajukan permohonan dana bantuan covid-19, permohonan ini langsung dikirim ke FKPQ wilayah Jawa Timur,” kata Sodikin.

Tak lama kemudian, lanjut Sodikin, ada telpon dari FKPQ wilayah yang isinya meminta kepada FKPQ Kabupaten Bojonegoro untuk memaksimalkan jumlah lembaga TPA/TPQ yang ingin mendapatkan bantuan BOP Covid-19.

“Lalu, saya informasikan hal pengajuan dana bantuan Covid-19 tersebut melalui WA grup ke PAC FKPQ tanpa proposal,” ujar Sodikin.

Kemudian, lanjut Sodikin, mereka-mereka itu, kami ber waktu 7-10 hari untuk melengkapi semua persyaratan yang dibutuhkan.

Lalu, data lembaga yang ingin mendapatkan dana bantuan tersebut diinput melalui kecamatan kemudian diteruskan ke kabupaten. Data-data yang sudah terkumpul ini kemudian diteruskan ke pengurus FKPQ di wilayah.

Ditemui usai persidangan, Pinto Utomo menjelaskan, dengan pemeriksaan terdakwa ini makin jelas, bahwa ada yang janggal dan tidak benar dibalik penanganan perkara dugaan korupsi BOP ini.

Lebih lanjut Pinto menjelaskan, dengan adanya pernyataan dari Sodikin, mengutip pernyataan jaksa bahwa mereka telah salah tangkap, sudah jelas bahwa perkara ini penuh rekayasa.

“Terdakwa Sodikin berkali-kali ditanya jaksa, apakah benar bahwa ia bernama Sodikin. Kalau jaksa memang tidak yakin, seharusnya terdakwa Sodikin ini dibebaskan,” ujar Pinto.

Meski kami belum mengecek kebenaran informasi itu, lanjut Pinto, penasehat hukum terdakwa pernah diberi informasi dari beberapa rekan wartawan, bahwa ada sosok Sodikin yang lain.

Sosok Sodikin itu, sambung Pinto, adalah staf ahli yang bekerja pada anggota DPR RI Komisi VIII. Dan orang yang dimaksud itu beralamat di Tuban.

Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A menambahkan, dengan adanya salah tangkap itu, membuat perkara ini semakin terang benderang.

“Sejak awal, saya sudah tegaskan. Untuk dugaan korupsi, mengapa tidak menyidik dua perusahaan yang menjadi vendor pembelian alat prokes?,” tanya Johanes Dipa.

Kalau jaksa memang ingin mengungkap adanya dugaan korupsinya, lanjut Johanes Dipa, PT. Arta Teknik dan PT. Cahaya Amanah NF, dua perusahaan penyedia alat kesehatan ini bisa dikejar.

“Harga-harga yang dibandrol PT. Arta Teknik dan PT. Cahaya Amanah NF sangat mahal dan tidak wajar,”ujar Johanes Dipa.

Kemudian, bagaimana dengan Khotimatus Sa’adah, Nur Cholis, Suyuti, Sainal Maarif, Imam Muchlisin?, tanya Johanes Dipa, yang hingga sekarang tidak pernah dihadirkan ke persidangan.

Johanes Dipa menambahkan, kebenaran dalam perkara ini hanya satu persen bahkan kurang dari satu persen.

Adalah hal yang naif jika majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman dan dalam pertimbangan hukumnya, berpegangan pada kebenaran materiil yang kurang dari satu persen, namun fakta-fakta yang diajukan terdakwa melalui penasehat hukumnya, tidak pernah jadi pertimbangan. (pay)

Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A menambahkan, dengan adanya salah tangkap itu, membuat perkara ini semakin terang benderang.

“Sejak awal, saya sudah tegaskan. Untuk dugaan korupsi, mengapa tidak menyidik dua perusahaan yang menjadi vendor pembelian alat prokes?,” tanya Johanes Dipa.

Kalau jaksa memang ingin mengungkap adanya dugaan korupsinya, lanjut Johanes Dipa, PT. Arta Teknik dan PT. Cahaya Amanah NF, dua perusahaan penyedia alat kesehatan ini bisa dikejar.

“Harga-harga yang dibandrol PT. Arta Teknik dan PT. Cahaya Amanah NF sangat mahal dan tidak wajar,”ujar Johanes Dipa.

Kemudian, bagaimana dengan Khotimatus Sa’adah, Nur Cholis, Suyuti, Sainal Maarif, Imam Muchlisin?, tanya Johanes Dipa, yang hingga sekarang tidak pernah dihadirkan ke persidangan.

Masih menurut Johanes Dipa, cara jaksa dalam mencari alat bukti, dari 937 lembaga TPQ penerima BOP Kemenag di Bojonegoro, hanya tujuh lembaga yang dihadirkan di persidangan.

“Artinya pembuktian JPU sangat rapuh karena kurang dari satu persen. Apakah sample kurang dari satu persen atau tujuh lembaga dari total 957 lembaga penerima BOP Kemenag, dapat dijadikan dasar keyakinan majelis hakim dalam mempidana terdakwa Shodikin?,” tanya Johanes Dipa.

Dari tujuh saksi tersebut, lanjut Johanes Dipa, ada yang mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain itu, tidak ada seorang pun saksi yang mengatakan bahwa memberikan uang kepada terdakwa Shodikin. (pay/Red)

Sumber: https://surabayaupdate.com/2022/04/05/sodikin-korban-rekayasa-hukum-dan-error-in-persona/