RESTORATIVE JUSTICE, SIAPKAH KITA

Oleh : Mochammad Mansur

SuaraBojonegoro.com – Prinsip Restorative Justice atau Keadilan Restoratif saat ini mulai diadopsi dan diterapkan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia.

Ada dua pengertian Restorative Justice, yaitu :
– Pengertian secara konsep adalah pemulihan keadilan yang tidak menitik beratkan pada penghukuman
– Pengertian secara proses adalah penyelesaian perkara yang melibatkan pelaku dan korban, yaitu ada proses tetapi tidak dijatuhi pidana, ada pemulihan keadilan yang diberikan kepada korban

Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif di Indonesia secara legal formal sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Kebijakan penerapan restorative justice juga telah dilakukan oleh Mahkamah Agung yaitu dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.

Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga telah menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016, yang sebelumnya Kepolisian RI itu telah mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, di Pasal 1 Angka 27 menyatakan “keadilan restorstif ini harus melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait. Hal ini bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak”.

Baca Juga:  Tak Manusiawi! Seorang Ayah di Blora Hamili Anak Kandung

Di dalam RUU KUHP kita juga sudah di masukkan konsep Restorative Justice.
Hampir semua lembaga penegak hukum di Indonesia sampai di jajaran tingkat daerah sudah mulai mengadopsi dan menerapkan Prinsip Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Hal itu tidak terlepas dari adanya new paradigm modern criminal law (paradigma baru hukum pidana modern) di dunia.

Berbeda dengan Hukum Pidana Kuno (Klasik) yang berorentasi pada pembalasan atau keadilan retributive, orang yang melakukan pindana dijatuhi hukuman. Jadi ada balas dendam, menggunakan hukum pidana sebagai Lex Talionis (hukum balas dendam).

Hukum pidana modern saat ini ada perubahan paradigma di dunia, yaitu hukum pidana tidak lagi berorientasi pada pembalasan tetapi beroerientasi pada 3 (tiga) keadilan, yaitu :
1. Keadilan korektif, yaitu pelaku dikoreksi perbuatannya, pelaku diberikan hukuman.
2. Keadilan restorative, yaitu dengan melibatkan korban.
3. Keadilan rehabilitative, yaitu yang dipulihkan pelaku dan korban. Pelaku direhabilitasi supaya ketika nanti kembali ke masyarakat tidak mengulangi perbuatannya. Sedangkan rehabilitasi korban adalah merupakan bagian dari pemulihan keadilan.

Dari segi konteks, Restorative Justice itu sendiri merupakan displin ilmu, yang baru muncul pada tahun 1977, diperkenalkan oleh Albert Eglash.

Konsep Restorative Justice yang paling sederhana itu adalah pemaafan dari korban kepada pelaku (reparatie)

Baca Juga:  Pegawai BPN Terlibat Mafia Tanah Bisa Disanksi Tanpa Menunggu Keputusan Hukum

Konsep Restorave Justice, yang paling sulit itu sebenarnya bukan pada merumuskan aturan, akan tetapi yang paling sulit adalah merubah mindset masyarakat kita, mindset aparat penegak hukum kita, menyadarkan masyarakat dan aparat penegak hukum untuk tidak lagi menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam.

Masih diperlukan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi tersebut dilakulan lebih maksimal, disamping dengan cara mempertemukan pihak yang berperkara, juga perlu melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Disamping itu diperlukan sinkronisasi dalam penerapan keadilan restoratif, sebab tak jarang antar aparat penegak hukum kerap berjalan sendiri dalam menyelesaikan perkara, mengutip pernyataan Prof Mahfud MD, mengatakan “restoratifnya itu hanya ada di buku tapi di dalam praktik peradilan dari tiga lembaga itu sering tidak sinkron”.

Masih menurut Prof Mahfud MD : “dalam penerapan keadilan restoratif, hal lain yang perlu diperhatikan adalah koordinasi antara Polri dan Kejaksaan pada saat penerapan keadilan restroratif.

Terutama dalam setiap tahapan penanganan perkara yang menjadi tanggung jawab dan wewenang masing-masing”.

Fakta di lapangan banyak orang yang diseret ke pengadilan hanya berdasarkan hitam putih hukum yang formal, tanpa melihat masalah yang lebih substantif dan kepentingannya bagi masyarakat.

hakim cenderung menjatuhkan hukuman badan atau penjara. Jadi restoratifnya itu hanya ada di buku tapi di dalam praktik peradilan dari tiga lembaga itu sering tidak sinkron. (**)

*) Penulis adalah Ketua PERADI Bojonegoro, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro