Jangan Campuradukan Antara Fakta Dan Opini Sendiri

 

SuaraBojonegoro.com – Dalam menilai sebuah berita memang banyak hal yang perlu dicermati. Disamping aktualitas berita yang disampaikan, proksimitas (kedekatan) apa yang diberitakan untuk memenuhi kepentingan khalayak pembaca/pemirsa atau audiens, keakuratan berita, dan seharusnya pula berita disampaikan secara berimbang.

Pentingnya peliputan, pengolahan dan penyampaian berita yang berimbang dengan harapan bahwa dampak atas apa yang diberitakan (peristiwa, kejadian, atau persaingan/konflik antarpihak yang menjadi bahan berita) tidak ada yang merasa dirugikan. Melalui penyampaian berita yang berimbang juga akan memberikan informasi secara luas, dari berbagai sumber dan sudut kepentingan, sehingga mencerdaskan khalayak yang mengkonsumsinya.

Secara normatif, dalam Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 5 disebutkan: Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interprestasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

Demikian halnya penyampaian berita secara berimbang sesungguhnya telah disebutkan yaitu dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

Baca Juga:  Vonis Mati Ferdy Sambo yang Kemudian Diubah Menjadi Penjara Seumur Hidup

Namun dalam perjalanannya apakah semua ketentuan tersebut sudah dipenuhi oleh para jurnalis/wartawan maupun insan pers?

Perlu diketahui bahwa kecenderungan ketidak berimbangan berita masih saja terjadi disana-sini. Misalnya dalam pemberitaan bakal calon dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun pemberitaan konflik antar pihak ditemui ketidak berimbangan dalam pemberitaan. Terutama berita-berita yang disampaikan lewat medium TV Komersial/Swasta sehingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat melayangkan surat peringatan atau teguran (sumber).

Ada beberapa sebab mengapa pelanggaran terhadap ketentuan berita berimbang itu masih cenderung ditemui. Diantaranya: Pertama, kurangnya pemahaman UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sehingga belum dimaknai dan belum diimplementasikan dalam memproduksi suatu karya jurnalistik. Masih perlu adanya peningkatan sumberdaya manusia perusahaan pers seperti disebutkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, angka 12: perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme.

Kedua, di era global atau era pasar bebas ditandai liberalisasi nampaknya diikuti perkembangan pers yang ikutan mengglobal telah menjadikan perusahaan berorientasikan pada profit. Untuk merebut/meraih khalayak sebayak-banyaknya maka tidak menutup kemungkinan setiap berita dikemas dan dibingkai (di-frame) sedemikian rupa tanpa memperhatikan unsur keberimbangan suatu berita. Hanya cenderung berfokus pada asumsi semakin banyak meraih khalayak berarti semakin banyak iklan masuk, dan ini diharapkan mendatangkan profit tentunya.

Baca Juga:  Merdeka dari Virus Corona

Ketiga, belum dimaknainya profesi sebagai jurnalis. Bahwa dalam beberapa atributnya, seseorang disebut profesional bilamana memiliki keahlian, terdidik, terlatih dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Menjiwai pekerjaan yang dilakukan, dan apa yang dikerjakan merupakan bagian dari pelayanan umum (public service). Satu atribut lagi yang tidak boleh ditinggalkan yaitu menaati kode etik profesi. Bukankah ketentuan berita berimbang juga merupakan salah satu atribut sekaligus tuntutan yang harus dipenuhi? Nah, dampak dari penyampaian berita harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pertanggung jawaban moral.

Demikian sekilas sekedar ulasan singkat dalam mencermati dan memahami penyampaian berita yang berimbang. Masyarakat atau khalayak di masa kini sudah tidak bodoh lagi, termasuk dalam memilah dan memilih untuk mengkonsumsi berita yang disampaikan lewat. (**)