Oleh: Ahmad Syauqi Fuady
SuaraBojonegoro.com – Angin perubahan kebijakan pemerintah kolonial terjadi pada pertengahan abad ke-19. Kemenangan kelompok Liberal di Parlemen Belanda, pelan-pelan membawa pengaruh terhadap kehidupan di Hindia Belanda. “Utang Budi” menjadi tema yang diusung untuk memajukan rakyat di tanah jajahan.
Pendidikan bagi rakyat, yang semula diabaikan, mulai mendapatkan perhatian. Meskipun masih elitis: terkhusus bagi kalangan atas. Dan juga dualitis: netral terhadap agama.
Abad ke-20, atas nama Politik Etis, sekolah makin bertambah banyak. Sementara itu, sejak abad yang lalu, jejaring pendidikan Islam terus menunjukkan eksistensi dirinya tanpa campur tangan pemerintah.
Keturunan pedagang Muslim, banyak mengirim putranya belajar agama di Makkah, sembari menunaikan haji. Dua jalur pendidikan bagi rakyat terbentuk: jalur pendidikan Barat kolonial dan jalur pendidikan Islam. Menyusul kemudian model pendidikan sintesis-krestif dari dua bentuk pendidikan tersebut.
Maka wajar, dekade kedua abad ke-20, istilah-istilah “kaoem moeda”, “kaoem terpeladjar”, “kaoem moeda terpeladjar”, menjadi viral. Pendidikan telah membentuk wajah lain dari rakyat Hindia Belanda. Pendidikan benar-benar telah mencerahkan para pemuda. Pendidikan telah membuka tempurung pemikiran para pemuda untuk mengenal beragam pemikiran, merasakan penderitaan rakyat, dan mengetahui syarat-syarat kemajuan. Tentu yang terpenting adalah pendidikan menghasilkan kaum terpelajar yang memahami bahwa penjajahan dan penindasan oleh Penjajah adalah penyebab kemiskinan, kebodohan, kemunduran rakyat, oleh karenanya kemerdekaan adalah satu-satunya cara untuk menghapus penindasan dan kemiskinan.
Kemerdekaan, disadari oleh “kaoem moeda terpeladjar” akan terwujud bersyaratkan persatuan. Berbhineka dalam kemajemukan dan bermajemuk dalam kebhinekaan adalah kesadaran yang menggelora. Kaum Muda terdidik baik dari jalur pendidikan Barat maupun jalur jejaring pendidikan Islam serta kaum terdidik lain bergandengan untuk saling berbagi peranan. Puncak dari kesadaaran ini adalah peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Persatuan adalah modal untuk kemerdekaan dan berdaulat dalam mengatur nasib sendiri untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Kemerdekaan itu akhirnya mewujud pada tanggal 17 Agustus 1945. Tujuh belas tahun seteah Sumpah Pemuda. Namun, segera setelah kemerdekaan tercapai, muncul kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir. Kemerdekaan adalah pintu gerbang yang memberi jalan bagi bangsa untuk memimpin dirinya sendiri (self-help), berdaulat, tanpa tekanan dan paksaan. Kemerdekaan hanyalah gerbang awal untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kerusakan mental, kehilangan karakter, dan inferiority complex menjadi momok yang harus segera diatasi. Kondisi mental kejiwaan bangsa dan negara seperti ini yang layak disesali. Sebab, pembangunan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran tak akan mampu berjalan dalam suasana mental dan kejiwaan bangsa dan negara yang sedang jatuh. Upaya mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan kemajuan hanya bisa dicapai dengan mengupayakan pendidikan dan pencerdasan rakyat: jsamani dan rohani.
Merupakan langkah yang strategis dan tepat kiranya, jika pada awal-awal kemerdekaan Presiden Soekarno banyak berpidato dengan mengetengahkan tema National Character Building. Dalam alam kemerdekaan, pembangunan akan terwujud, kata Presiden Soekarno, dengan tiga modal: human skill, material, dan mental. Keterampilan, keahlian, ilmu pengetahuan bersama dengan sumber daya alam material yang melimpah tak berarti banyak tanpa disertai mental dan karakter yang tangguh: kerja keras, jujur, disiplin, dan tidak korup. Pendidikan mental dan karakter bangsa kunci keberhasilan pembangunan. “Mental membangun” harus ditumbuhkan terlebih dahulu sebelum pembangunan itu dijalankan.
Senada dengan Bung Karno, sejak awal Bung Hatta telah menekankan tentang pentingnya pendidikan dibandingkan pengajaran. Pendidikan hendaklah lebih diutamakan daripada pengajaran. Pendidikan itu memberikan perhatian dalam upayanya membentuk karakter, sementara pengajaran lebih menekankan pada upaya menambah pengetahuan.
Bagi Bung Hatta, orang yang berkarakter akan mudah mencapai kecerdasan. Sedangkan kecerdasan tidak dapat membentuk karakter seseorang. Ilmu dan kecerdasan akan berkembang di tangan orang yang berkaraker. Pendidikan yang berbasis karakter dalam pandangan Bung Hatta akan menghasilkan keuntungan ganda: keanggunan moral serta keunggulan intelektualitas.
Penggalan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya membawa zeit geist atau semangat zaman yang penting untuk diingat dan dimaknai terus-menerus.
Pembangunan dan pendidikan mental-karakter, agama, intelektualitas manusia tidak kalah penting dibanding pembangunan fisik. Bahkan keduanya saling terkait dan tidak terpisahkan.
Terlebih dalam dunia modern kini yang terus bergerak maju. Kemajuan ilmu dan teknologi menciptakan perubahan sekaligus masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia. Permasalahan baru yang muncul tentu memerlukan pengkajian, penelitian, dan penyikapan yang baru dan mutakhir. Kondisi ini memaksa pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi bergerak maju. Gambaran dunia yang terus bergerak, bagi Soedjatmoko, menegaskan pentingnya sense of relativity atau “kesadaran akan kenisbian”.
Keinsafan ini menghasilkan kesadaran bahwa kemajuan dan capaian yang saat ini dianggap modern, maju, dan up-to-date, di masa depan akan menjadi usang, kuno, dan tidak relevan lagi.
Pendidikan tidak hanya mengupayakan pemahaman dan penguasaan substansi suatu ilmu, melainkan juga menanamkan kemampuan analitis, kritis, dan metodik kepada peserta didik agar mampu mengelaborasi substansi ilmu pengetahuan dengan masalah aktual masyarakat. (**)
*) Penulis Adalah : Pengajar di STIT Muhammadiyah Bojonegoro
Foto: Good News From Infonesia