Membumikan Pendidikan Karakter

Oleh: Amin Mustofa, S. Pd*)

Masalah
Dalam rangka membenahi akhlak generasi bangsa dan membangun peradaban bangsa yang bermartabat, berakrakter, berakhlak mulia, demi kehidupan bangsa yang lebih baik, mampu menjawab tantangan global, pemerintah memprogramkan pendidikan karakter. Nilai- nilai karakter tersebut yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Begitu pentingnya nilai karakter tersebut bagi anak sebagai generasi penerus bangsa, nilai tersebut ditanamkan pada siswa di sekolah melalui berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan di sekolah yang sejalan dengan penanaman nilai karakter di antaranya melalui kegiatan pembelajaran berkarakter.

Selain itu, karakter religius ditanamkan melalui pembiasaan berdoa, mengaji, dan salat berjamaan di sekolah. Karakter jujur diterapkan melalui pembiasaan sportif dalam mengerjakan tugas maupun ujian di kelas. Tidak hanya jujur dalam perkataan, tapi juga dalam perbuatan. Karakter peduli lingkungan ditanamkan melalui pembiasaan menyapu lingkungan kelas, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan lingkungan sekolah dan lainya. Karakter disiplin ditanamkan melalui kepatuhan siswa pada jam pelajaran dan tugas sekolah.

Namun sayangnya, penanaman dan pembiasaan pendidikan karakter banyak berjalan tidak seimbang, hanya sebatas di sekolah. Seolah pembiasaan dalam rangka penanaman pendidikan karakter pada anak hanyalah tugas sekolah dan akan diselesaikan oleh sekolah itu sendiri. Di sekolah siswa diajari dan dibiasakan salat berjamaah di rumah tidak. Sekolah membiasakan anak menyapu, bersih- bersih lingkungan, di rumah tidak. Mencuci piring, menyapu, mengepel dan bersih- bersih rumah seolah hanya pekerjaan orang tua. Tidak sedikit orang tua yang memahami bahwa di rumah, tugas anak hanyalah membaca buku, menonton TV, bermain HP. Padahal pelibatan anak dalam berbagai kegiatan di rumah juga merupakan proses pendidikan dan penanaman karakter.

Padahal pendidikan tidak sebatas di sekolah. Pendidikan itu bersifat universal. Pendidikan dan penanaman karakter bisa dilakukan di kelas, di sekolah, di jalan, di rumah, di dapur, di masjid, di lungkungan masyarakat, di kebun, di sawah, di kandang terbnak, bahkan di pasar. Bila pendidikan karakter hanya urusan sekolah dan orang tua tidak menindaklanjutinya di rumah, penanaman nilai karakter tidak bisa optimal, bertepuk sebelah tangan. Akibatnya, pendidikan karakter hanya sebatas teori, dipahami tapi tidak diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. Karakter seolah jauh di awan, tidak membumi.

Sebab
Penyebab kurang optimalnya penanaman nilai karakter pada anak adalah karena tugas penanaman karakter hanya diserahkan pada sekolah, urusan sekolah. Sebatas di sekolah. Di rumah tidak ditindaklanjuti melalui pembiasaan sehari- hari. Hal ini disebabkan karena tidak semua orang tua memahami cara penanaman karakter pada anak. Di rumah anak hanya disuruh belajar, bermain, menonton TV, bermain HP.

Meski anak sudah usia SLTA, seolah di rumah seperti anak kecil yang tidak dilibatkan pada pekerjaan orang tua. Anak tidak dilibatkan dalam aktivitas harian orang tua: membantu orang tua memasak (anak perempuan), mencuci baju, mencuci piring, mengepel, jamaah salat lima waktu di masjid, membantu orang tua berkebun, beternak, dan berwiraswasta atau aktivitas harian lain. Bahkan ada orang tua yang setiap hari mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah, padahal anaknya sudah SMA yang sudah bisa naik sepeda atau naik kendaraan umum sendiri. Padahal, anak bekerja keras naik sepeda atau naik angkutan umum ke sekolah adalah bagian dari bentuk penanaman nilai karakter kerja keras dan mandiri.

Baca Juga:  BOJONEGORO DALAM KEKOSONGAN KEKUASAAN SELAMA 14 BULAN

Akibat
Pendidikan karakter yang hanya diserahkan pada sekolah, tidak ditindaklanjuti dalam kehidupan sehari- hari di rumah berakibat kurang optimalnya nilai karakter pada anak. Akibatnya, meski anak sudah dewasa, masih belum bisa mandiri, selalu mengandalkan orang tua. Meski anak sudah remaja, bisa menyapu, mencuci baju, mengepel tapi tidak peduli dan tidak mau mengerjakannya sendiri. Mereka malah minta dilayani orang tua. Bahkan pada urusan sepele, misalnya, anak sudah tahu bahwa membuang sampah sembarangan adalah perbuatan tercela, menunjukkan pribadi yang tidak peduli lingkungan, tapi tetap juga dilakukan.

Meski tahu bahwa tidak jujur adalah dosa, perilaku anak masih berani tidak jujur, bahkan berani korupsi. Orang tua sudah memberi uang SPP tapi tidak dibayarkan, malah digunakan untuk jajan dan berfoya- foya. Ini terjadi di sebuah SLTA di Bojonegoro. Tiap ujian akhir semester, para orang tua harus beramai- ramai datang ke sekolah hanya untuk membayar SPP. Padahal, anaknya sudah kelas XI dan XII tapi orang tua harus jauh- jauh datang ke sekolah hanya untuk membayar SPP karena bila dititipkan anaknya, anaknya tidak bisa dipercaya. Banyak kasus uang SPP dikorupsi anak, dibuat jajan. Tindakan korup juga karena karakter jujur, tanggung jawab, religius yang tidak tertanam optimal pada anak.
Tidak hanya jujur dan tanggung jawab, kurang optimalnya penanaman nilai karakter religius juga berdampak buruk pada anak. Sudah tahu bahwa beribadah (misal: salat dan puasa) adalah kewajiban, anak masih berani meninggalkannya. Ini karena karakter religius tidak tertanam secara optimal pada anak.

Tidak hanya itu, di sekolah siswa sudah diajari bahwa beribadah adalah hak warga negara yang dilindungi undang- undang, di masyarakat masih juga dijumpai tindakan intoleransi antarumat beragama. Merendahkan, bahkan menghina orang lain baik secara langsung maupun melalui media sosial pada orang yang tidak segolongan dengannya adalah perbuatan tercela, perbuatan yang tidak bersahabat, tidak peduli sosial, bertentangan dengan nilai karakter namun masih juga dijumpai di masyarakat. Ini bagian dari kurang berhasilnya pendidikan karakter.

Solusi
Agar nilai karakter dapat membumi, tidak sebatas di awan, sebatas di sekolah tapi melekat pada jiwa anak yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari, beberapa langkah berikut ini perlu dilakukan. Pertama, perlu ada sinergi, kesepahaman tentang karakter dan cara penanaman nilai karakter antara sekolah dengan orang tua. Jangan hanya sekolah yang paham. Sekolah juga perlu memahamkan anak dan orang tua tentang nilai- nilai karakter, manfaat nilai karakter, dan cara penanaman nilai tersebut melalui pembiasaan di rumah. Karena di rumah, orang tualah yang harus berperan aktif menjadi mitra anak. Agar orang tua memahami hal ini, sekolah perlu mengadakan sosialisasi dan pembinaan pada anak dan orang tua. Misalnya dengan mengadakan sosialisasi dan pembinaan pada anak dan orang tua di sekolah. Orang tua jangan hanya diundang ke sekolah hanya untuk mengambil buku rapor anak pada akhir semester, tapi manfaatkan momen pertemuan ini untuk sosialisasi tentang pendidikan karakter dan cara penanamannya pada anak.

Kedua, harus ada kesadaran dan komitmen orang tua dalam membina dan memantau anaknya di rumah. Misalnya, penanaman karakter religius, orang tua menjadi contoh dan membimbing anaknya agar membiasakan diri beribadah: salat berjamaah di masjid dalam lima waktu, berpuasa, berzakat, mengaji, menjalani perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Penanaman karakter jujur dengan cara orang tua dan anak terbiasa jujur dalam perkataan dan perbuatan dalam kehidupan sehari- hari. Karakter toleransi ditanamkan pada anak di lingkungan keluarga diawali dari hal sederhana, misalnya dengan cara menghargai perbedaan pendapat, pandangan, pilihan, dan sikap dalam lingkungan keluarga selama dalam batas norma dan toleransi antartetangga, termasuk pada tetangga yang berbeda agama atau golongan.

Baca Juga:  Putra Putri Terbaik Bojonegoro Cetak Prestasi Gemilang, Siap Kawal Proyek Gas Jambaran Tiung Biru PEPC

Karakter disiplin ditanamkan pada anak di lingkungan keluarga dengan cara membiasakan anak patuh pada jadwal harian. Makan pada waktunya. Salat, bermain, menonton TV, mengaji, belajar, mengerjakan tugas rumah, menyapu, membantu orang tua, istirahat yang semua itu dijalani anak dengan patuh sesuai waktunya. Waktunya belajar di rumah, anak tidak boleh bermain game online, bermedsos, atau menonton TV. Waktunya malam untuk beristirahat, anak tidak dibiarkan begadang di warung kopi. Waktu salat subuh anak harus salat subuh, jangan dibiarkan bangun kesiangan dan waktunya berangkat sekolah, anak berangkat sesuai waktunya. Ini bagian dari pembiasaan disiplin pada anak.

Karakter mandiri ditanamkn pada anak dengan cara membiasakan anak yang sudah usia remaja untuk berlatih bertanggung jawab pada kebutuhannya. Misalnya, menyiapkan bekal sekolah sendiri. Bangun tidur, anak harus merapikan tempat tidur sendiri. Selesai makan, anak harus mencuci piring sendiri. Mencuci baju sendiri. Melipat baju, menyeterika sendiri. Anak yang sudah usia remaja seyogianya jangan selalu dilayani. Latihlah anak agar belajar mandiri bukan selalu dilayani orang tua karena bila selalu dilayani, anak akan “bermental juragan”. Kegiatan- kegiatan tersebut, selain menanamkan kemandirian juga membangun karakter tanggung jawab.

Anak akan tertanam jiwa tanggung jawab pada kebutuhan hariannya sendiri. Orang tua perlu menyadari bahwa rasa sayang pada anak tidak harus selalu melayani anak. Justru selalu melayani anak berarti tidak sayang pada anak karena justru membentuk mental yang tidak mandiri dan tidak bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Anak perempuan juga harus dilatih mengenal dapur. Tidak hanya ke dapur untuk makan tapi anak harus dilatih membantu ibu memasak di dapur, mencuci piring, meyapu lantai, bahkan mengepel. Ini bagian dari pendidikan karakter tanggung jawab dan peduli lingkungan.

Di rumah, anak juga harus dilatih, dibiasakan terlibat membantu kegiatan orang tua, baik beternak, mencari rumput pakan ternak, berkebun, bertani, berdagang, berwiraswasta dan kegiatan orang tua lainnya dengan tidak mengganggu tugas belajar anak. Pelibatan anak dalam kegiatan- kegiatan ini juga bagian dari pendidikan karakter: karakter kerja keras.

Ketiga, sekolah perlu membuat grup media sosial guru dan orang tua, misal grup WA orang tua yang dikelola oleh wali kelas. Ini memudahkan sekolah memandu dan memberi solusi pada orang tua bila terjadi masalah pada anak.

Bila sekolah menanamkan karakter, orang tua juga ikut menindaklanjuti penanaman karakter pada anak di rumah, tidak ada lagi anak yang meninggalkan salat, tidak berpuasa, korupsi uang SPP, suka menghina, menghujat baik langsung maupun melalui media sosial. Anak akan mandiri, mau bekerja keras, peduli lingkungan, bertanggung jawab dan karakter positif lainnya. Inilah generasi harapan orang tua dan harapan bangsa. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak sebatas di awan, tapi membumi, dipahami dan dipraktikkan anak dalam kehidupan sehari- hari. Semoga anak cucu kita menjadi generasi berkarakter, amin ya rabbal alamin.

*) Penulis adalah praktisi pendidikan di Bojonegoro. Anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI) Bojonegoro ini tinggal