Oleh: Dr. Mukhamad Roni, S.E., M.E.
SuaraBojonegoro.com – Setiap musim haji, kita selalu disuguhkan cerita haru dan harapan: ribuan umat Islam mempersiapkan diri lahir batin untuk memenuhi panggilan suci ke Baitullah. Salah satu jalur yang selama ini dianggap sebagai “jalan cepat” menuju haji adalah Visa Furoda, sebuah skema non-kuota dari Pemerintah Arab Saudi. Namun tahun 2025 ini menghadirkan kenyataan pahit: Visa Furoda gagal terbit, ribuan calon jamaah batal berangkat, dan banyak travel terpaksa menanggung kerugian, bahkan reputasi yang rusak.
Di titik ini, kita dihadapkan pada satu pertanyaan penting: apakah haji melalui Visa Furoda semata bentuk panggilan ilahi, atau sudah terlalu jauh bergeser menjadi komoditas bisnis?
Antara Panggilan Spiritual dan Realitas Komersial
Selama ini, banyak calon jamaah memaknai Visa Furoda sebagai “jalan tak terduga” yang Allah bukakan. Mereka yang merasa terpanggil, namun tak ingin menunggu belasan tahun antrean haji reguler, melihat Furoda sebagai bentuk istitha’ah kemampuan secara fisik, mental, dan finansial. Dan memang benar, banyak kisah inspiratif yang datang dari jalur ini.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, narasi spiritual ini mulai disusupi oleh logika pasar: paket mewah, harga selangit, dan persaingan travel. Biaya haji Furoda bahkan bisa mencapai Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar, tergantung kelas dan fasilitas. Artinya, perjalanan suci ini juga menjadi peluang bisnis bagi banyak biro perjalanan.
Sampai di sini, bisnis tentu sah selama tetap mengindahkan prinsip syariah dan profesionalisme. Namun bencana mulai tampak ketika niat tidak lagi selaras dengan tanggung jawab.
Krisis 2025: Saat Visa Tak Terbit
Tahun ini menjadi turning point. Untuk pertama kalinya, Arab Saudi tidak menerbitkan visa Furoda bagi jamaah Indonesia. Padahal, ribuan calon jamaah sudah membayar lunas. Travel sudah mengiklankan keberangkatan. Bahkan sebagian besar sudah menyiapkan perlengkapan, manasik, dan tiket penerbangan.
Ketika visa tak kunjung terbit hingga mendekati waktu wukuf, kekacauan pun terjadi. Calon jamaah kecewa, travel dihujani kritik, dan banyak yang harus berjuang keras mengembalikan dana jamaah, jika tidak ingin berurusan dengan hukum.
Kejadian ini membuka borok yang selama ini tersembunyi: ada ketergantungan besar pada jalur yang sebenarnya tidak dijamin pemerintah Indonesia, dan ada juga minimnya edukasi jamaah tentang resiko Furoda.
Dimensi Keimanan yang Terluka
Bagi banyak jamaah, kegagalan ini bukan hanya soal uang, tapi soal luka spiritual. Mereka sudah merasa “terpanggil”, sudah pamitan kepada keluarga, sudah memantapkan hati untuk wukuf di Arafah. Maka ketika gagal berangkat, tidak sedikit yang merasa kecewa, hampa, bahkan marah.
Namun, pada titik inilah kita semua diuji. Panggilan haji adalah hak prerogatif Allah. Kita bisa mempersiapkan segala hal dari finansial, fisik, hingga logistic tapi jika Allah belum mengizinkan, maka siapa pun tidak akan sampai.
Mungkin tahun ini adalah pelajaran. Bahwa Allah sedang membersihkan niat. Bahwa ibadah tidak bisa didekati semata dari sisi instan, eksklusif, atau layanan bintang lima. Bahwa haji adalah panggilan, bukan promosi.
Bisnis Ibadah: Antara Amanah dan Spekulasi
Penyelenggara haji, terutama yang menawarkan Furoda, harus mengevaluasi ulang prinsip dasarnya. Apakah mereka benar-benar mengelola ibadah atau menjual ekspektasi? Apakah mereka berani jujur ketika visa belum pasti? Apakah mereka siap bertanggung jawab jika Allah belum menurunkan izin?
Dalam Islam, mencari keuntungan dari layanan ibadah tidak haram, tapi harus disertai dengan amanah, kejelasan, dan keterbukaan. Jika tidak, maka ibadah bisa berubah menjadi komoditas semu, yang justru menjerumuskan banyak pihak.
Pelajaran Besar dari Gagalnya Furoda
1. Tidak semua yang siap berangkat, benar-benar dipanggil.
Allah-lah yang mengatur siapa yang sampai ke Tanah Suci, bukan biro atau saldo tabungan.
2. Jangan menukar keikhlasan dengan ekspektasi.
Jika niat utama adalah ibadah, maka kegagalan pun akan diterima dengan lapang.
3. Jamaah harus lebih cerdas.
Jangan mudah tergiur promosi “berangkat tanpa antre” tanpa memahami konsekuensinya.
3. Travel harus profesional dan amanah.
Jangan jual program bila visa belum jelas. Jangan kumpulkan dana bila status belum pasti.
Penutup: Jalan Masih Panjang, Hati Harus Siap
Visa Furoda yang gagal tahun ini adalah tamparan keras bagi semua: jamaah, travel, dan regulator. Tapi juga bisa menjadi momentum perbaikan niat dan sistem. Jika memang belum dipanggil, tidak berarti kita ditolak. Mungkin kita sedang diajarkan bersabar. Mungkin Allah sedang ingin kita mengkaji ulang makna dari sebuah perjalanan suci.
Haji bukan soal seberapa cepat bisa berangkat, tapi seberapa lurus niat dan kuat keyakinan untuk datang hanya karena Allah. Maka, bisnis boleh tetap berjalan, tapi jangan sampai menabrak hakikat ibadah.
Karena panggilan sejati tidak bisa dibeli, dan hanya akan datang kepada mereka yang benar-benar siap secara ruhani.
*)Penulis : Dosen, Praktisi Indonesia Belajar & Mengajar, Sekretaris III Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) DPW Jawa Timur