Oleh : Ibnu Khakim, M.HI
SuaraBojonegoro.com – Bulan Ramadhan adalah momentum istimewa bagi umat muslim di seluruh dunia untuk memperbanyak amal kebaikan, lebih dari bulan-bulan Hijriyah lainnya. Keistimewaan bulan ini ditandai dengan adanya ibadah puasa wajib dan berlipat gandanya pahala setiap kebaikan. Di samping itu, Ramadhan juga menjadi waktu diwajibkannya penunaian zakat. Zakat, sebagaimana umumnya dipahami umat Islam, dapat dibayarkan dalam bentuk bahan pangan pokok (sembako) atau uang tunai. Seiring perkembangan zaman, instrumen harta semakin beragam, sehingga memberikan lebih banyak alternatif dalam menunaikan zakat setelah mencapai nisab. Berdasarkan sejarahnya, perintah untuk berzakat dibagi menjadi beberapa fase, yaitu : Fase Pertama, Perintah zakat telah ada dari semenjak masa Rasulullah saw masih di Makkah. Hanya saja, belum ada ketentuan spesifik terkait dengan waktu dan kadarnya. Penjelasan ini bisa dilihat pada tafsir Ibnu Katsir pada ayat 20 surah Al-Muzzammil. Fase Kedua, Zakat fitrah diperintahkan pada tahun kedua Hijriah setelah perintah puasa. Hal ini berdasarkan pada hadits, “Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan (zakat fitrah) sebelum perintah zakat (zakat harta).” (HR Nasa’i). Fase Ketiga, Perintah zakat harta ditetapkan sebagai tambahan dari zakat fitrah yang telah diwajibkan sebelumnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah ini turun pada tahun kedua Hijriyah. Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa kata haqqahu (haknya) dalam QS Al-An’am ayat 141 diartikan sebagai zakat wajib. Hadirnya zakat menjadi salah satu pilar penting dalam ekonomi syariah yang memberikan dampak positif, baik dari segi keagamaan maupun sosial.
Dalam pendistribusian zakat sering kali kita berikan melalui amil zakat. Lantas siapakah amil zakat tersebut? Amil merupakan salah satu dari 8 golongan (asnafus tsamaniyah) yang berhak menerima bagian, seperti yang disebutkan dalam QS. At-Taubah 60: Artinya, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS At-Taubah; 60).
Melansir artikel NU Online karya Abdul Kadir Jailani disebutkan bahwa pengertian amil zakat adalah orang atau kelompok orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menarik zakat dari orang yang membayar zakat (muzakki) dan menyalurkannya kepada yang berhak (mustahiq). Sebagaiman penjelasan Ibnul Qasim Al-Gazzi dalam Fathul Qarib: Artinya, “Amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerima”( Abu Abdullah Syams al-Din Muhammad bin Qasim al-Gazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut: Darul-Hazm: 2005] halaman. 133. Jadi petugas zakat yang tidak diangkat (tanpa legalitas) oleh pemerintah tidak dapat disebut amil, melainkan hanya panitia zakat biasa yang dibentuk oleh swakarsa masyarakat.
Konsekuensinya adalah amil berhak menerima bagian dari zakat seukuran upah yang sesuai dengan pekerjaannya, sedangkan panitia zakat tidak berhak. dalam mengelola zakat bisa dilakukan siapa saja baik yang berstatus amil atau panitia zakat. Tapi karena zakat adalah ibadah yang memiliki ketentuan syariat maka perlu diperhatikan aturan penyalurannya.
Menurut Syaikh Mahfudz Termas dalam Hasyiah At-Termasi menjelaskan sebagai berikut ; Artinya, “Amil zakat ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menarik harta zakat, Menurut tuntunan redaksi pengarang, sesungguhnya orang yang melaksanakan tugas menarik zakat secara tabarru’ (sukarelawan) maka tidak masuk dalam sebuah kaidah/peraturan di atas” (Muhammad Mahfudz At-Turmusi, Hasyiah At-Termasi, [Jedah, Darul Minhaj: 2011] jilid. Halaman 404) .
Dapat dipahami bahwa orang yang bekerja sukarela, yang tidak diangkat oleh pemerintah tidak berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil. Mengambil zakat atas nama amil adalah suatu yang terlarang dan menyebabkan tidak sahnya zakat seseorang. Status panitia zakat adalah wakil dari yang wajib berzakat (muzakki), sedangkan amil adalah wakil dari yang berhak menerima (mustahiq). Ketika zakat dibayarkan kepada amil, secara otomatis zakat tersebut sah dan kewajiban zakat dari muzakki gugur. Sebaliknya jika zakat dibayarkan ke panitia zakat, kewajiban zakat dari muzakki belum gugur sebelum panitia zakat menyalurkannya ke mustahiq. Karena panitia zakat berstatus sebagai wakil muzakki, maka keabsahan zakat tergantung pada tersalurkannya zakat kepada mustahiq. Sebelum zakat diterima mustahiq, zakat belum dianggap sah. Oleh karenanya menyalurkan zakat secara langsung oleh muzakki lebih utama dari pada menitipkannya melalui panitia zakat, karena dianggap lebih meyakinkan.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan amil zakat dan panitia zakat adalah sebagai berikut:
Pertama, Amil zakat mempunyai legalitas hukum dari pemerintah dalam mengelola zakat. Kedua, Panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat bukanlah amil zakat. Ketiga, Amil berhak mendapat bagian hasil zakat, sedangkan panitia yang bukan amil (bukan ashnaf) tidak diperbolehkan. Ke_empat, Zakat yang diserahkan kepada panitia zakat belum dianggap sah sebelum zakat itu disalurkan kepada mustahiq, hal ini tentu Santat berbeda jika diserahkan kepada Amil sudah dianggap sah secara hukum, meskipun Amil belum menyerahkannya kepada mustahiq. Andaikan zakat tersebut hilang atau rusak di tangan panitia zakat maka akan menjadi tanggung jawab muzakki. Berbeda jika hilang atau rusaknya di tangan amil, zakat tetap dianggap sah. Bagi panitia zakat yang ingin menjadi amil zakat syar’i bisa mengusulkan panitianya untuk diusulkan menjadi amil sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Penulis_Ibnu Khakim, M.HI, adalah intelektual muda, Instruktur PBNU, Dosen dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Raudlatul Muslimin yang berdomisili Desa Sumberarum Kec. Ngraho Kab. Bojonegoro. (**)