RAMADHAN OBAT MUJARAB DARURAT KEJUJURAN

Oleh : Ibnu Khakim, MHI

SuaraBojonegoro.com – Kasus mega korupsi di Indonesia terus terkuak. Teranyar, Kejaksaan Agung mengungkap nilai kerugian negara akibat dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina periode 2018-2023 mencapai Rp 193 triliun. Angka tersebut membuat dugaan korupsi PT. Pertamina menjadi kasus korupsi terbesar kedua menggeser kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Di antara yang terlibat kasus tersebut adalah orang yang beragama Islam, orang yang terperosok dalam perbuatan korupsi, yang salah bukan agamanya ataupun institusinya, tetapi tanggung jawab individu karena tidak konsisten melaksanakan ajaran Agamanya, sebagai umat beragama harus diyakini bahwa Allah Swt senantiasa melihat setiap perbuatan manusia dan akan menghisabnya di akhirat. Keyakinan demikian merupakan benteng moral yang paling kokoh dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, selain adanya pengawasan dan penegakan hukum.

Mengutip pendapat Dr. H. Mohammad Hatta, Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Wakil Presiden Pertama RI yang menyatakan, “Pengakuan kepada Tuhan Yang Masa Esa tidak dapat dipermainkan, tidak saja berdosa, sebagai manusia kita menjadi makhluk yang hina, apabila kita mengakui dengan mulut, dasar yang begitu tinggi dan suci,sedangkan di hati tiada dan diingkari dengan perbuatan.”

Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini salah satu hikmahnya adalah menumbuhkan sikap jujur, rajin menegakkan keadilan dan kebenaran. Ibadah puasa pada dasarnya memerlukan kejujuran dari setiap orang yang melaksanakannya, baik jujur terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Tanpa kejujuran tidak mungkin ada ibadah puasa, karena ibadah itu dilakukan dengan keinsyafan dan tidak ada pengawasan dari manusia lain. Allah Swt memerintahkan kepada kita agar menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.

Baca Juga:  Pancasila Diantara Simpul Generasi Milenial

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Maidah, 5:8).
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita agar yang pertama selalu menegakkan kejujuran serta kebenaran karena Allah semata.

Maksudnya kita berlaku jujur dan menegakkan kebenaran itu, tidak mengharapkan pamrih materi atau kemewahan dunia lainnya, tetapi hanya mengharap keridhaan Allah SWT. Kedua, Menjadi saksi yang adil, apabila kita diperlukan untuk memberikan kesaksian, dalam rangka mencari kejelasan suatu perkara hendaknya bersedia menjadi saksi yang adil. Kita harus selalu terpanggil untuk ikut andil dalam melahirkan keputusan-keputusan yang benar dan jujur. Yang ketiga Jangan¬lah kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kita untuk berbuat tidak adil. Menetapkan suatu hukum harus selalu berdasarkan keadilan, baik terhadap orang yang dicintai ataupun yang dibenci. Yang dimaksud dengan jujur pada kajian ini adalah sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta ataupun tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat dijuluki dengan sebutan “al-Amin” artinya orang yang terper¬caya, jujur dan setia.

Baca Juga:  TUNTUNAN I'TIKAF SESUAI AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH (2)

Dinamai demikian karena segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan dan rongrongan, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu yang sangat dipentingkan dalam segala kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, hidup bermasyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks hubungan antara umat Islam, kejujuran menempati tempat yang sangat penting dan strategis dalam proses menjaga keberlangsungan kehidupan yang harmonis, sebab darinya akan tercipta kebersamaan sehingga lahirlah sebuah persaudaraan antar sesama.

Bila dicermati dan diamati, salah satu problem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sampai hari ini cukup rumit untuk dicarikan solusi, yang mana fenomena miskinnya kejujuran di antara pejabat-pejabat dan elite-elite negeri ini masih tetap ada. Ketidakjujuran masih banyak ditemukan dan cukup masif dikerjakan di berbagai institusi negara dari pemerintah pusat hingga daerah, termasuk di lingkungan keluarga dan lainnya.

Semoga ibadah puasa yang kita kerjakan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah akan membentuk kita menjadi orang-orang yang bersikap adil, menegakkan kebenaran dan berlaku jujur dalam segala aspek kehidupannya. Amin.

Penulis_Ibnu Khakim, M.HI, adalah intelektual muda, Instruktur PBNU, Dosen dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Raudlatul Muslimin yang berdomisili Desa Sumberarum Kec. Ngraho Kab. Bojonegoro. (**)