Tambangan, Warisan Budaya Transportasi yang Terpinggirkan

oleh -
oleh

Oleh: Agus Sighro Budiono

SuaraBojonegoro.com – Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang dialiri sungai, tentu tak asing dengan istilah Tambangan. Tambangan itu merujuk kepada penyeberangan dengan sarana perahu yang ditarik dengan tambang, dari sebuah daratan menuju daratan di seberangnya. Sepertinya di tempat lain,Tambangan populer disebut Penambangan. Konon Tambangan sudah ada sejak jaman Mataram kuno atau sejak jaman Mojopahit.

Keberadaan tambangan merupakan bukti kecanggihan teknologi transportasi air pada masa lampau. Warisan itu layak dijaga dan diperhatikan sebagai bekal membangun peradaban pada masa kini dan nanti.

Tambangan (perahu penyeberangan) merupakan warisan peradaban berusia ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang tetap menjadi nadi transportasi di zaman kekinian. Namun, meski telah berperan signifikan dalam melayani aktivitas masyarakat, membangun konektivitas, dan menjembatani kegiatan ekonomi, keberadaan angkutan penyeberangan sungai ini kurang mendapat perhatian.
Hal itu terbukti dengan adanya kebijakan penutupan tambangan di Utara pasar kota Bojonegoro, dengan dalih akan dibangun taman sebagai ruang terbuka hijau.

Padahal tidak bisa dipungkiri, keberadaan tambangan TBS yang dulu bernama tambangan ngebom telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kelancarannya aktivitas masyarakat baik yang tinggal di Utara maupun yang dari selatan Bengawan.

Meski perahu di tambangan TBS tidak ditarik dengan tali, tetapi penyeberangan sungai ini dinamai Tambangan. Di Tambangan yang menghubungkan Desa Banjarsari dengan Kelurahan Ledok Wetan ini, perahunya lumayan besar, dikendalikan oleh dua orang. Ketika perahu berjalan masih di tepi sungai, bagian depan bersarana watang (bambu panjang) yang oleh tukang perahu ditancapkan ke tanah bagian dasar air atau tepi daratan kemudian didorongnya, dan seorang di bagian belakang, memegang gol, untuk mengendalikan arah perahu.

Bila perahu sudah meninggalkan pinggiran sungai, pengendali bagian dengan beralih memegang dayung sambil duduk untuk mendorong perahu agar bersauh lebih cepat dan agar tidak dengan mudah terbawa arus sungai.

Dalam sejarahnya, tambangan ternyata hanya merujuk kepada penyeberangan, tetapi juga merujuk kepada pelabuhan tempat mangkalnya perahu, hal itu bisa dilihat dengan adanya pasar dan bangunan berarsitektur tempo dulu sekitar tambangan.

Tambangan TBS yang melewati bengawan Solo, menghubungkan brang lor (seberang utara) menuju brang kidul (seberang selatan). Hingga sebelum ditutup pada Kamis, 7 Maret 2022, Tambangan itu ramai sekali, beroperasi siang malam. Dengan ongkos Rp.1000- 2000,- sekali jalan

Meski terkadang resiko perahu terbalik kerap mengancam ketika air Bengawan tengah meluap, namun warga tetap memilih menyeberang menggunakan perahu tambangan.
Alasannya, tambangan menawarkan cara paling cepat untuk menjalankan aktivitas keseharian, seperti bekerja, berbelanja, bersekolah, bahkan mempererat kohesi sosial dalam keluarga.

Warga yang terbiasa nambang mempunyai keyakinan, keselamatan dapat terjaga selain karena sarana perahu yang lumayan standart,skill pengemudi, juga faktor penumpang sebagai pengguna jasa.
Tanpa dikomando,mereka yang nambang telah berdisiplin selama perjalanan, tanpa ada yang mengomando dengan kesadaran masing-masing mereka telah mengambil posisi yang tepat, membuat perahu dapat berlabuh secara seimbang, bersikap tenang, merekapun tidak gojekan, tidak sembrono sambil komat-kamit, memohon keselamatan kepada gusti Allah. Memang sulit dipercaya, medan yang tidak begitu mudah, berlangsung ratusan tahun, tetapi keselamatan menuju seberang dapat terjaga.

Kebijakan penutupan tambangan TBS patut disayangkan. Sebab dengan penutupan tambangan akan menghapus sejarah dan kearifan lokal masyarakat Bojonegoro yang tinggal di Bantaran Bengawan Solo.

Seperti diketahui, tambangan TBS juga banyak digunakan oleh para pelajar yang pergi dan pulang menuntut ilmu. Untuk itu tambangan juga bisa digunakan sebagai media pembentukan karakter.
Mereka yang nambang, dengan kesadaran tanpa dikomando telah memilih untuk bertindak disiplin, mengambil posisi benar di atas perahu , tidak sembrono, sehingga berpengaruh kepada keselamatan mereka selama penyeberangan.

Demikian pula untuk meraih kualitas manusia berspiritual,bermoral dan bersosial tinggi yang akan menjadi penentu keberhasilan manusia menyeberang jembatan menuju pintu surga, juga sangat tergantung kepada pilihannya manusia itu sendiri, apakah akan menjadikan sebagai pilihannya atau tidak. Wallahu a’lam.

Semoga para pemimpin Bojonegoro mendapatkan hidayah dari Tuhan yang maha esa.

*Penulis adalah Sekretaris Kelompok Kerja Kebudayaan Bojonegoro.

No More Posts Available.

No more pages to load.