Ada Saksi Yang Ngaku Diintimidasi Jaksa, PT Penyedia Jasa Ditengarai Tak Diungkap

oleh -
oleh

SURABAYA, SuaraBojonegoro.com – Sidang dugaan tindak pidana korupsi pemberian dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) se-Kabupaten Bojonegoro semakin menarik untuk disimak.

Selain adanya keberpihakan majelis hakim yang terlihat pada persidangan Selasa (8/3/2022) lalu dan beberapa saksi yang sudah dihadirkan pada persidangan sebelumnya yang mengaku diminta untuk menulis ulang dengan tulisan tangan berupa surat pernyataan yang draf-nya sudah dipersiapkan, ternyata masih ada saksi yang berani mengungkapkan telah diintimidasi jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro.

Jika saksi Andik Fajar Nenggolan bersaksi dimuka persidangan bahwa ia diancam akan ditembak bila tidak menuruti arahan jaksa, pada persidangan yang terbuka untuk umum di Pengadilan Tipikor Surabaya yang berada di Kabupaten Sidoarjo ini, ada seorang ibu hamil, ketika diperiksa atau dimintai keterangan dikantor Kejari Bojonegoro, diancam akan digantung jika tidak menuruti arahan jaksa penyidik.

Adalah Tasiem Shoimah yang mengungkap adanya tindakan intimidasi yang ia terima, ketika dimintai keterangan dan diperiksa sebagai saksi di kantor Kejari Bojonegoro.

Dengan terisak, Tasiem Shoimah mengaku akan digantung jika ia tidak mau mengaku bahwa uang sebesar Rp. 1 juta sebagai dana bantuan pembuatan proposal, laporan pertanggungjawaban, membeli materai, dipotongkan dari dana BOP yang diterima lembaganya sebesar Rp. 10 juta.

Bukan hanya ancaman akan digantung jika tidak mau menuruti arahan jaksa, Tasiem Shoimah juga mengaku dimuka persidangan, saat proses pemeriksaan terhadap dirinya berlangsung, ada oknum jaksa bernama Edward (Naibaho, kasi Intel Kejari Bojonegoro, red) yang menggebrak-gebrak meja.

Dihadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU), tim penasehat hukum terdakwa Sodikin dan lima saksi a de charge atau meringankan lainnya yang dihadirkan bersamaan dengan dirinya, saksi Tasiem Shoimah menyatakan, adanya intimidasi yang dirasakannya itu terjadi saat ia datang ke kantor Kejari Bojonegoro untuk dimintai keterangan pertama kalinya.

Lebih lanjut Shoimah menjelaskan, pertama kali diperiksa, Shoimah mengaku di BAP mulai jam 09.00 Wib sampai pukul 01.00 Wib.

Diantara para jaksa yang melakukan pemeriksaan kala itu, saksi menyebut, ada Jaksa Edward (Naibaho) dan Jaksa Tarjono. Untuk yang lainnya, Shoimah tidak tahu namanya.

“Saya dipaksa mengakui bahwa uang sebesar Rp. 1 juta tersebut berasal dari dana bantuan sebesar Rp. 10 juta yang diterima lembaga penerima bantuan,”ujar Tasiem Shoimah, Kamis (10/3/2022).

Karena ketakutan, lanjut Tasiem Shoimah, dan diperiksa mulai pukul 09.00 Wib sampai 01.00 Wib, saya tidak berani membantah apa yang disampaikan jaksa, bahwa uang Rp. 1 juta itu adalah pungutan dan diambilkan dari Rp. 10 juta yang diterima lembaga.

“Saya tidak berani karena saya perempuan seorang diri. Ketika jaksa memaksa untuk mengatakan bahwa uang Rp. 1 juta itu adalah pungutan yang dipotongkan dari Rp. 10 juta, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau saya membantah, saya tidak boleh pulang,” jelas Shoimah.

Bukan hanya tidak boleh pulang, wanita yang sedang mengandung dan lima hari lagi akan melahirkan ini juga bersaksi, bahwa ia juga diancam akan digantung jika tidak mau mengakui, jika uang Rp. 1 juta yang diberikan lembaga pendidikannya itu, memang dipotongkan dari dana bantuan sebesar Rp. 10 juta.

Kortan Kecamatan Gayam ini juga mengatakan, dari Rp. 10 juta bantuan yang diberikan Kementerian Agama tersebut, Rp. 6 juta dipergunakan untuk membeli alat prokes dan Rp. 4 juta dipergunakan untuk operasional TPQ.

Berkaitan dengan penggunaan uang Rp. 6 juta untuk pembelian alat prokes, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A, salah satu penasehat hukum terdakwa kemudian bertanya, apa saja yang lembaga Al Hidayah terima dari perusahaan penyedia alat prokes.

Lebih lanjut Tasiem Shoimah mengaku, salah satu alat prokes yang diterima adalah 100 biji masker dengan harga satuan Rp. 12.500 per maskernya.

“Harga satuan masker itu Rp. 12.500 per biji. Masker itu terbuat dari kain yang seperti dijual dipinggir-pinggir jalan dengan harga Rp. 5.000 per bijinya,” ungkap Tasiem Shoimah.

Tasiem Shoimah bukanlah satu-satunya saksi yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa pada persidangan ini. Ada lima saksi lain yang juga dihadirkan. Mereka bernama Wasito Adi Kepala TPQ Al Hidayah Kecamatan Gayam, Karniawati Kepala TPQ Al Barokah, Lukman Hakim Sekretaris TPQ Darussalam Jari, M. Kamdani Kepala TPQ Al Fadilah dan Ahmad Nuri dari Kecamatan Gondang.

Mendengar bahwa ada kesaksian yang sengaja diarahkan jaksa saat proses penyidikan di Kejari Bojonegoro, tim penasehat hukum terdakwa Sodikin kemudian bertanya satu persatu ke para saksi yang dihadirkan.

Saksi M. Kamdani juga mengungkapkan, bahwa ia dipaksa untuk membuat pernyataan yang drafnya sudah disiapkan penyidik Kejari Bojonegoro.

Saat ia diperiksa di Kejari Bojonegoro, M. Kamdani bersama 12 saksi yang lain, dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang draf-nya sudah dipegang jaksa.

Ahmad Nuri juga memberikan kesaksian yang sama. Dalam kesaksiannya dimuka persidangan, saat ia diperiksa di Kejari Bojonegoro, dipaksa untuk mengakui bahwa uang Rp. 1 juta itu adalah potongan dari dana bantuan BOP yang diterima lembaganya.

Selain itu, Kortan Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro ini juga dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang draft-nya sudah disiapkan jaksa.

Pada persidangan ini, Tasiem Shoimah juga menceritakan bagaimana awalnya ia mengetahui bahwa akan ada bantuan dari pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan agama di Kabupaten Bojonegoro.

Diawal persidangan, Shoimah ditanya darimana ia mengetahui akan ada bantuan dari pemerintah. Kortan Kecamatan Gayam inipun menjawab hal itu disampaikan Juli- Agustus 2020 ada sosialisasi di Sekretariat Kabupaten Bojonegoro. Ada dua kali sosialisasi.

Pertama, terjadi Agustus. Disana, selain menginformasikan akan ada bantuan bantuan operasional pendidikan Covid-19, juga akan ada pembentukan pengurus FKPQ kecamatan.

Kemudian, pada sosialisasi yang kedua, masih dibulan yang sama, tentang turunnya bantuan untuk Covid-19 di Kabupaten Bojonegoro, dibagikan bersama dengan edaran-edarannya.

Saksi juga menceritakan dimuka persidangan, saat pembagian Surat Keputusan (SK) kepada lembaga-lembaga penerima Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), terdakwa Sodikin juga mensosialisasikan tentang larangan-larangan, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) atas pemberian bantuan dari Kementerian Agama tersebut

Berkaitan dengan BOP, diKecamatan Gayam, Shoimah mengatakan, ada 20 TPQ yang ia usulkan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

Saksi juga menerangkan, untuk mendapatkan bantuan BOP, TPQ yang ada diKecamatan Gayam, tidak ada yang membuat proposal, namun menyerahkan data-data TPQ atau lembaga pendidikan agama yang ada di Kecamatan Gayam ke FKPQ Bojonegoro.

“Dari 20 TPQ/TPA di Kecamatan Gayam yang saya usulkan, hanya 13 lembaga saja yang mendapat bantuan BOP, sedangkan yang tujuh lembaga tidak,” kata Shoimah.

Untuk 13 lembaga di Kecamatan Gayam yang menerima bantuan, lanjut Shoimah, semuanya menerima bantuan ditahap I.

Setelah mendengar pernyataan Shoimah didepan persidangan, Pinto Utomo yang menjadi penasehat hukum terdakwa Sodikin terheran-heran dengan isi dakwaan yang dibuat dan disusun JPU.

Pinto menyebut, jika dakwaan penuntut umum berkaitan dengan jumlah lembaga TPA/TPQ penerima bantuan BOP di Kecamatan Gayam berjumlah 25 lembaga.

Saksi kemudian ditanya tentang besarnya bantuan yang diterima lembaga pendidikan di Kabupaten Gayam yang menerima bantuan.

Sama dengan pernyataan para saksi sebelumnya yang pernah didengar kesaksiannya dimuka persidangan, bahwa BOP yang diterima masing-masing lembaga di Kabupaten Gayam sebesar Rp.10 juta dan besarnya bantuan itu sudah tertera didalam SK.

Kemudian, Ketua TPQ Al Hidayah ini juga diminta untuk menjelaskan, dari bantuan yang diterima sebesar Rp. 10 juta itu, dipergunakan untuk apa saja.

Shoimah pun menjawab, Rp. 6 juta dipergunakan untuk membeli alat-alat prokes sedangkan yang Rp. 4 juta untuk operasional lembaga. Dan begitu mendapat informasi bahwa bantuan telah dapat dicairkan, para pengurus TPQ/TPA yang ada di Kecamatan Gayam, kemudian mendatangi BRI Kalitidu untuk mencairkan dana bantuan BOP tersebut.

Ketika pertanyaan mulai menyangkut dana operasional pembuatan proposal yang besarnya Rp. 1 juta, pernyataan saksi di BAP dengan yang ia ungkapkan di muka persidangan berbeda. Hal ini membuat tim penasehat hukum Sodikin bertanya ke saksi, mengapa bisa berbeda.

Shoimah pun menjawab, ketika diperiksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro, semua pengurus lembaga yang menerima dana bantuan, menjawab seperti itu.

“Namun yang saya alami sendiri di Kecamatan Gayam, tidak seperti itu. Uang yang Rp. 1 juta bukan potongan dari Rp. 10 juta,” terang Shoimah didepan persidangan.

Lagi-lagi, Jaksa Tarjono yang menyidangkan perkara ini, enggan memberikan tanggapan. Penuntut umum dari Kejari Bojonegoro ini memilih bungkam saat dimintai tanggapannya, usai persidangan.

Sementara itu, Pinto Utomo mengatakan, dari banyaknya saksi yang sudah dimintai keterangan dimuka persidangan, makin terlihat banyak saksi yang diintimidasi jaksa, termasuk Tasiem Soimah yang akan digantung.

Mencermati ancaman yang dialami Tasiem Shoimah dan kesaksian Andik Fajar Nenggolan itu, menurut Pinto, pemeriksaan yang dilakukan Pidsus Kejari Bojonegoro tidak sah

“Pemeriksaan itu telah melanggar pasal 117 KUHAP. Karena banyak saksi yang dipaksa, diintimidasi jaksa,” ujar Pinto.

Atas kejadian tersebut, lanjut Pinto, penasehat hukum terdakwa Sodikin telah melayangkan surat ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Kejaksaan Agung.

“Untuk surat yang telah dikirimkan ke Kejaksaan Agung, surat tersebut juga kami tembuskan ke Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was), Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM Bin),” ungkap Pinto.

Kami, sambung Pinto, juga berkirim surat ke Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Asisten Pengawasan (Aswas) dan Asisten Pembinaan (Asbin) Kejati Jatim, untuk segera menindaklanjuti dugaan intimidasi saksi terhadap perkara dugaan korupsi pemberian dana BOP dari Kementerian Agama ini.

Pinto juga menambahkan, dalam proses pembuatan BAP, tidak boleh saksi itu diarahkan apalagi sampai diintimidasi untuk memperkuat penyidikan jaksa penyidik. Tindakan jaksa itu jelas-jelas telah melanggar undang-undang.

“Cara jaksa untuk memperoleh alat bukti sudah tidak sah dan melanggar undang-undang atau on self incremination,” papar Pinto.

Masih menurut Pinto, saat memberikan keterangan, seorang saksi itu harus bebas dari tekanan, bebas dari intimidasi dan bebas dalam bentuk apapun.

Johanes Dipa menambahkan, dalam memberikan keterangan, banyak saksi yang dalam kesaksiannya seperti paduan suara.

“Kami heran, dalam pemeriksaan ini seperti paduan suara. Orangnya berbeda-beda, namun saat memberi kesaksiannya sama,” ujar Johanes Dipa

Para saksi itu, lanjut Johanes Dipa, disuruh menulis ulang pernyataan yang sudah disiapkan jaksa. Jika saksi itu menolak, maka ia tidak boleh pulang.

Dari banyaknya saksi yang sudah dihadirkan dimuka persidangan dan mengakui telah disuruh membuat surat pernyataan yang drafnya sudah dipersiapkan tersebut, Johanes Dipa dan tim penasehat hukum terdakwa semakin meyakini, bahwa ada tekanan yang terjadi pada para saksi, saat diperiksa di Kejari Bojonegoro.

“Alat bukti yang perolehannya tidak benar, melanggar hukum apalagi sampai ada intimidasi, tidak mempunyai kekuatan hukum didalam pembuktian,”ungkap Johanes Dipa.

Berkas perkara yang dibawa jaksa ke persidangan, sambung Johanes Dipa, bukan harga mati dan telah melanggar hukum karena ada fakta-fakta yang berbeda termuat dalam berkas perkara dari fakta yang sebenarnya.

Johanes Dipa kemudian menyinggung masalah pembelian alat prokes yang menurut para saksi terlampau mahal.

Terkait hal itu, Johanes Dipa menyatakan, seharusnya jaksa mengungkap dugaan korupsinya itu dari pembelian alat-alat prokes melalui PT. Arta Teknik dan PT. Cahaya Amanah NF.

Lalu, yang membuat penasehat hukum terdakwa heran dan bertanya-tanya adalah tentang isi dakwaan penuntut umum, dimana dalam dakwaan itu disebutkan bahwa akibat perbuatan terdakwa yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut telah memperkaya diri sendiri dan Khotimatus Sa’adah, Suyuti dan Zainal Ma’arif.

“Khotimatus Sa’adah, Suyuti dan Zainal Ma’arif ini siapa? Orang-orang ini tidak pernah dihadirkan penuntut umum dipersidangan,” tegas Johanes Dipa.

Lalu, lanjut Johanes Dipa, masalah kerugian negara sebagaimana dicantumkan dalam surat dakwaan penuntut umum juga berbeda.

Dihalaman depan disebutkan, bahwa kerugian negara adalah Rp. 957 juta, namun pada bagian belakang surat dakwaan disebutkan Rp. 1,007 miliar.

Johanes Dipa kemudian menyatakan, penuntut umum harus membuktikan dalil-dalilnya sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan tersebut. Namun yang terjadi adalah, nampak sekali jika perkara ini dipaksakan naik ke persidangan.

Dengan mencermati kesaksian para saksi yang sudah dihadirkan dipersidangan dan melihat isi dakwaan yang tidak konsisten itu, Johanes Dipa menduga, ada tindakan dugaan korupsi yang lebih besar, namun ditutup-tutupi, sedangkan yang tidak tahu menahu malah dikorbankan. (pay/SU/Red)

Sumber: https://surabayaupdate.com/dua-pt-penyedia-alat-prokes-tidak-pernah-diungkap-seorang-ibu-hamil-diancam-jaksa-akan-digantung/

No More Posts Available.

No more pages to load.