SANTRI dan INDONESIA (bagian 2)

oleh -
oleh

Oleh : Murtadho

Sruput kopinya dulu loer !!!

SuaraBojonegoro.com  –  Selanjutnya terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah Islam  yang menyatakan bahwa pendiri pesantren pertama adalah dari kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa dari mereka yang pertama kali mendirikannya. Ada yang mengganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim-lah pendiri pesantren pertama, adapula yang menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yang menyatakan pendiri pesantren pertama adalah Sunan Gunung Jati, Syarif Hidayatullah.

Akan tetapi pendapat terkuat adalah pendapat pertama. Sedang mengenai pendapat yang menyatakan pesantren paling tua adalah pesantren Tegalsari Ponorogo maka hal tersebut tidak sampai menafikan karena yang dimaksud adalah pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali.

Pada masa penjajah Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji.

Selain itu belanda juga membatasi kontak atau hubungan orang islam indonesia dengan negara-negara Islam yang lain. Hal-hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.

Sebagai respon atas penindasan Belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara tahun 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di indonesia yaitu : 1. Pemberontakan kaum Paderi di Sumatera dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol 2. Pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa 3. Pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yang dilakukan Kolonial Belanda 4. Pemberontakan di Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro

Pada akhir abad ke-19 segera setelah Belanda mencabut resolusi yang membatasi jamaah haji, jumlah peserta jamaah haji pun membludak. Hal ini menyebabkan tersedianya guru-guru pengajar Islam dalam jumlah yang berlipat-lipat yang dengan demikian ikut meningkatkan jumlah pesantren.

Karena seperti hal yang kita ketahui, para jamaah haji pada waktu itu selain berniat untuk haji mereka juga sekalian untuk menuntut ilmu, dan ketika mereka kembali ke Indonesia mereka mengembangkan ilmunya dan menyebarluaskannya. Pada masa inilah banyak muncul ulama-ulama indonesia yang berkualitas internasional seperti Syaikh Ahmad Khatib Assambasi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Abdul Karim dan lain-lain. Dan kepada merekalah intisab (sanad) keilmuan kyai-kyai Indonesia bertemu.

Awal abad ke-20 atas usul Snouck Hurgronje, Belanda membuka sekolah-sekolah bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan asumsi masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah tersebut dengan kebudayaan Belanda.

Sekolah-sekolah ini hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat dan priyayi saja dengan tujuan westernisasi kalangan ningrat dan priyayi secara umum. Kelak sebagai akibat dari sekolah model Belanda ini adalah munculnya golongan nasionalis sekuler yang kebanyakan berasal dari kalangan priyayi.

Sebagai respon atas usaha Belanda tersebut para kyai pun mendirikan sistem madrasah yang diadopsi dari madrasah-madrasah yang mereka temukan ketika menuntut ilmu di Makkah. Selain itu, pesantren juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa Belanda, yang dipelopori oleh Pesantren Tebuireng pada tahun 1920. Selain itu para kyai juga mulai membuka pesantren-pesantren khusus bagi kaum wanita.

Hasilnya sungguh memuaskan pondok pesantren semakin diminati. Dalam tahun 1920-1930 jumlah pesantren dan santri-santrinya melonjak berlipat ganda dari ratusan menjadi ribuan santri. Pada kurun waktu awal 1900-san inilah lahir organisasi-organisasi Islam yang didirikan kalangan santri.

Sebut saja SI yang didirikan HOS. Cokroaminoto dan H. Samanhudi, NU yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, PERSIS dan lain-lain. Yang kesemuanya berjuang menegakkan agama Islam dan berusaha membebaskan Indonesia dari cengkeraman Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tersebut melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan setiap orang pada jam 07.00 untuk menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yang dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan dipenjara 8 bulan.

Menjelang kemerdekaan, kaum santri pun terlibat dalam penyusunan  undang-undang dan anggaran dasar republik Indonesia yang diantaranya melahirkan Piagam Jakarta. Namun, oleh golongan nasioalis sekuler Piagam Jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandaslah impian mendirikan negara Islam Indonesia.

Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari waktu itu mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif  oleh umat Islam sehingga diperkirakan 10 ribu orang tewas pada waktu itu namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.

Setelah perang kemerdekaan pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje.

Akibatnya, pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar yang mampu bertahan. Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya.

Pada masa Soekarno pula pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikaian ditingkat bawah yang melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G.30.S PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yang menentang komunisme memberangus habis komunisme di Indonesia.

Peranan pondok pesantren dan santrinya masih harus diuji lagi pada periode Soeharto meneruskan lakon pendahulunya yang tidak mengakui pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang Islam dari struktur pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.

Namun demikian pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu melahirkan orang-orang hebat yang menjadi orang-orang penting di negara kita seperti KH.A. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH. Saifuddin Zuhri dan lain-lain.

Walaupun masa rezim Soeharto pemerintahan pun dipenuhi orang-orang abangan, selain itu politik “keseimbangan” yang diterapkannya menyebabkan pesantren yang kebanyakan milik NU kehilangan perannya di lingkungan pemerintahan. Pemerintah lebih suka memilih Muhammadiyah yang merupakan rival NU untuk menempati beberapa pos penting pemerintahan.

Pada masa ini pesantren kembali mengalami ujian berat. Ketika merebak isu terorisme, pesantren mendapat tuduhan sebagai sarang teroris. Pemerintah pun mulai menekan dan mengawasi pesantren dengan menyebar agen intelejennya. Seiring berlalunya waktu tuduhan itu pun mulai menguap lenyap.

Hari Santri Nasional ini merupakan penghargaan pemerintah terhadap peran para santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa para santri telah mewakafkan hidupnya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (selesai)

Sruput kopinya lagi aagh… !!!

No More Posts Available.

No more pages to load.