Bung Hatta, Sekolah Tinggi Islam, dan Peran Ulama

oleh -
oleh
Oleh: Ahmad Syauqi Fuady
SuaraBojonegoro.com – Cita-cita akan hadirnya perguruan tinggi Islam telah lama bergema di dada para
pemimpin umat Islam. Sebagai upaya mewujudkan cita-cita tersebut, federasi umat Islam Indonesia dalam wadah Masyumi membentuk komite khusus dengan tujuan mendorong
Pemerintah Jepang agar memberikan dukungan bagi pendirian perguruan tinggi Islam tersebut. Upaya tersebut membuahkan hasil setelah pada tanggal 20 November 1944 dibentuklah panitia khusus untuk pendirian perguruan tinggi Islam, dengan Mohammad Hatta
sebagai ketuanya.
Langkah tindak lanjut segera diambil oleh Masyumi yakni dengan mengadakan sidang di tahun 1945. Hadir dalam pertemuan itu di antaranya Mohammad Hatta, Mohammad
Natsir, Mohammad Roem, Wahid Hasyim, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Sukiman Wirjosandjojo.
Sejarah mencatat, tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 H,
berdirilah perguruan tinggi Islam yang telah lama dinanti-nantikan oleh umat Islam Indonesia di Jakarta. Perguruan tinggi Islam tersebut itu diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan dengan tujuan untuk “Memberikan pengajaran dan pendidikan tinggi baik dalam pengetahuan agama maupun pengetahuan umum sehingga bisa
menjadi sebuah pusat kemajuan Islam yang akan memiliki pengaruh nyata bagi
perkembangan Islam di Indonesia”.
Sekolah Tinggi Islam (STI) bernaung di bawah yayasan Badan Pengurus Sekolah
Tinggi Islam dengan Mohammad Hatta sebagai ketua yayasan dan Mohammad Natsir sebagai sekretarisnya. Terpilih sebagai rektor pertama adalah Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Yudi Latif
mencatat, para pemimpin dan pengajar Sekolah Tinggi Islam ini adalah intelek-ulama dan ulama-intelek terkemuka dan terbaik dari generasinya, dengan peran menonjol dari mantan aktivis Jong Islamieten Bond (JIB) dan para lulusan al-Azhar Kairo.
Revolusi kemerdekaan yang terjadi pascakemerdekaan 17 Agustus 1945 memaksa Ibu Kota pemerintahan berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bersamaan itu pulalah STI ikut
dipindahkan. Situasi revolusi yang kian meluas, banyak pemimpin, pengajar, dan mahasiswa STI ikut terlibat dalam revolusi. Hal ini memaksa Sekolah Tinggi Islam menghentikan
aktivitasnya. Sekolah Tinggi Islam kembali lagi dibuka di Yogyakarta tanggal 10 April 1946.
Presiden Soekarno hadir dalam pembukaan itu sementara Mohammad Hatta sebagai ketua Yayasan tampil menyampaikan pidato.
Di awal pidatonya yang berjudul Sifat Sekolah Tinggi Islam, Mohammad Hatta
menegaskan peran penting agama dalam membangun kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa akan kuat, kokoh, dan tegak jika didikan agama diberikan kepada rakyat. Tersebab mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam, maka didikan agama Islam diperlukan untuk memperkokoh kedudukan masyarakat, bangsa, dan negara. Didikan bagi umat Islam tidaklah
mungkin dapat diabaikan. Jika masyarakat Islam memiliki kecakapan dalam pengetahuan, kekokohan dalam karaker, dan kemandirian dalam penghidupan ekonomi, niscaya
masyarakat, bangsa, dan negara akan kokoh tegak berdiri. “Negara Indonesia merdeka,” kata Hatta, “menghendaki susunan masjarakat jang kuat, masjarakat jang berdasar kepada tjita tjita persaudaraan dan tolong-menolong. Untuk mentjapai masjarakat sematjam itu, perlulah disempurnakan didikan agama Islam.” Pendidikan agama menjadi bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak selayaknya dieliminir kedudukan da perannya.
Sifat didikan Islam haruslah holistik dan integratif: Pendidikan Islam melingkupi dua jalur agama dan ilmu. Didikan agama menjadi dasar untuk memperdalam keyakinan dan perasaan keagamaan, sementara ilmu pengetahuan memberi bekal dalam mencari penghidupan. Agama dan ilmu bukan untuk dihadapkan secara diametral, sebaliknya keduanya harus ditempatkan untuk saling mengisi. Dengan demikian, didikan Islam menginginkan tercapainya pribadi-pribadi manusia Muslim Indonesia yang kokoh keyakinan agamanya, dalam ilmu pengetahuannya, serta luas pandangannya.
Keprihatinan terhadap jumlah ulama besar yang terus berkurang tidak luput dari perhatian Hatta. Ulama besar dengan kecerdasan, kharisma, dan ketokohannya terbatas di atas segala tempat dan zaman. Ulama sebagai penuntun dan penyuara aspirasi umat memiliki posisi penting yang tiadanya merupakan kehilangan yang besar. Didikan Islam tidaklah boleh menutup diri dari kenyataan ini. Upaya untuk memunculkan ulama-ulama ahli agama harus dijadikan cita-cita sekolah tinggi Islam. Memunculkan ulama-ulama baru ahli agama berarti menyempurnakan dan mengokohkan pembangunan masyarakat. “Sebab itu, kalau kita ingin melihat bertambahnja djumlah ulama besar, hendaklah disediakan tempat mendidik tambahan itu. Sekolah tinggilah tempat membentuknja,” tegas Hatta.
Sosok ulama yang dicita-citakan Hatta adalah ulama yang terlibat dalam usaha menuntun masyarakat, membimbing rasa kebatinan umat, memberi solusi dalam problem-problem aktual kemasyarakatan, dan terlibat aktif dalam upaya mencapai cita-cita pemerinahan dan negara. Sebab itu, maka di samping didikan khusus dalam masalah agama, perguruan atau sekolah tinggi Islam perlu untuk membekali pengetahuan tentang filsafat, sejarah, sosiologi, dan hukum negara. Pengetahuan tambahan tersebut, menjadikan para lulusan memiliki modal pengetahuan dan kecakakapan untuk menyelami perasaan dan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Terlebih jika lulusannya menjadi ulama ahli agama. Berbekal pengetahuan agama dan kemasyarakatan, maka para ulama ahli agama dapat memainkan peran yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan bernegara. Kewajiban ulama terhadap masyarakat dan negaranya dapat dijalankan dengan baik. Para ulama ahli agama dapat turut serta dalam perdebatan dan perumusan peraturan-peraturan negara dengan semangat membawa dan memperjuangkan aspirasi dan keinginan masyarakat.
Dengan demikian, maka kepentingan, cita-cita, dan kehendak masyarakat dapat diperjuangkan oleh para ulama ahli agama. Para ulama ahli agama, di mata Hatta –tokoh penting berdirinya Sekolah Tinggi Islam– perannya tidak bisa dieliminir dalam kehidupan kemasyrakatan dan kenegaraan. Jumlah mereka malah harus senantiasa diusahakan bertambah melalui pendidikan tinggi Islam. Keberadaan mereka amat penting dalam membimbing dan menuntun arah kejiwaan masyarakat. Di masa pandemi Covid-19, para ulama tampil sebagaimana yang diidealkan.
Bung Hatta: Mejadikan sains/ilmu sebagai rujukan dalam memberi fatwa untuk mengarahkan masyarakat dan umat sehingga maslahah bagi manusia dan kemanusiaan dikedepankan. Sejak 10 Maret 1948, Sekolah Tinggi Islam (STI) diubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), nama yang dikenal hingga kini. (**)
*)Penulis adalah Pengajar di STIT Muhammadiyah Bojonegoro

No More Posts Available.

No more pages to load.