Terkurasnya Air Bersih

oleh -
oleh

Oleh: Sri Handayani
Praktisi pendidikan di Bojonegoro

Kekeringan kembali melanda Bojonegoro sekitar 2 bulan yang lalu dan kemungkinan kekeringan terus meluas.

Saat ini setidaknya ada lima kecamatan di Bojonegoro yang di landa krisis air bersih. Lima kecamatan tersebut adalah Temayang, Sukosewu, Sumberejo, Ngasem dan Ngraho, hanya saja memang tidak semua desa dari lima kecamatan tersebut dilanda kekeringan.
Menurut Plt kepala BPBD Bojonegoro Nadif Ulfia, kekeringan di Temayang melanda desa Bakulan, untuk Sukosewu kekeringan melanda Sumberejo Kidul. Sedang untuk wilayah Sumberejo melanda desa Telogohaji. Desa Tengger di kecamatan Ngasem juga dilanda kekeringan, sedangkan untuk kecamatan Ngraho melanda desa Sugihwaras ( Surya Malang.com 28/8/2018).
Bukan pilihan lagi, ketika kekeringan melanda maka masyarakat terpaksa harus menyusuri jalan berkilo kilo meter ketika mereka ingin mendapatkan air bersih guna memenuhi kebutuhan sehari- hari, seperti memberi minum hewan ternak, mandi, mencuci dan lain-lain. Sedangkan untuk memasak maka rakyat pun harus menguras kantong lebih dalam untuk membeli air dari tetangga yang menyediakan air bersih. Meski pemerintah saat ini sudah melakukan dropping air bersih, namun ini belum bisa menyelesaikan persoalan kekeringan yang melanda wilayah Bojonegoro.
Tak hanya Bojonegoro, krisis air bersih dan darurat kekeringan akut tengah melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Krisis ini sebenarnya dapat dikembalikan kepada dua penyebab utama. Pertama, deforestasi ( alih fungsi hutan) yang begitu pesat; Kedua, liberalisasi atau privatisasi sumber daya air.

Penyebab pertama, tampak dari hasil penelitian terkini para ahli iklim, lingkungan dan sumber daya air. Yakni, laju deforestasi yang sangat cepat berpengaruh kuat terhadap daur air. Secara langsung berupa hilangnya wilayah tagkapan air dan penguapan. Tidak langsung berupa peningkatan suhu global dan iklim ekstrim. Penting diingat, laju deforestasi yakni alih fungsi hutan yang begitu pesat selama beberapa dekade terakhir bukanlah karena tekanan populasi manusia sebagaimana yang banyak disangkakan, tetapi lebih karena tekanan politik globalisasi dengan sejumlah agenda neoliberal yang hegemoni. Diantaranya berupa liberalisasi sumber daya alam kehutanan, pertambangan, hingga pembangunan kawasan ekonomi khusus dan energi baru terbarukan
Kondisi ini diperparah oleh penyebab utama kedua, yakni liberalisasi sumber daya air yang mengakibatkan eksploitasi mata air oleh ribuan industri air minum dalam kemasan (AMDK).

Selain itu, berdasarkan studi tentang sumber daya air tanah yang dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Departemen Energi dan Sumber daya Mineral pada tahun 1998, di Desa Caringin tersebut, menunjukkan terjadi eksploitasi air bersih secara besar-besaran. Debit sumber air yang dieksploitasi oleh salah satu perusahaan AMDK di desa Caringin tersebut, yaitu PT Ega Tirta Kalista mencapai 200 liter per detik. Kemungkinan 4 perusahaan AMDK yang lain juga memiliki debit yang hampir sama. Oleh karena itu secara total debit air yang dieksploitasi oleh semua perusahaan AMDK pasti sangat tinggi.

Berapa banyak air yang dieksploitasi? Fantastis, dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 2009 total produksi AMDK 12,8 miliar liter, pada tahun 2010 meningkat menjadi 13,7 miliar liter. Dan Tahun 2016 seiring perluasan pabrik dan hadirnya pabrik-pabrik baru di tanah air, produksi mengalami peningkatan menjadi sebesar 26,90 miliar liter.

Subhanallah, hampir 71% permukaan bumi terdiri dari air. Kelimpahan itu begitu menonjol di negeri ini. Sebab, sekitar 21% total sumber air di wilayah Asia-Pasifik berada di wilayah Indonesia. Disamping itu, tampak dari begitu banyaknya jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan cekungan. Yaitu, 470 DAS dan telah teridentifikasi 232 cekungan air tanah. Ada 53 cekungan di Sumatra, 70 cekungan di Jawa, 15 cekungan di Kalimantan, 40 cekungan di Sulawesi, 3 cekungan di Bali, 8 cekungan di NTB, 20 cekungan di NTT, 6 cekungan di Maluku dan 17 cekungan di Irian Barat.
Di samping itu, meski volume air tawar kurang dari 1%, namun bila dibagi rata kepada seluruh penduduk di bumi ternyata lebih dari cukup. Bila penduduk bumi ada 7 miliar orang, maka setiap orang mendapat 1.457 m3 per hari.

Sementara kebutuhan minimal air bersih setiap orang menurut standar WHO hanya 50 m3. Subhanallah, agar siklus air berlangsung normal Allah subhanahu wa ta’ala pun telah menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan. Mulai dari hamparan hutan, intensitas mata hari, temperatur hingga sungai, lautan dan danau. “Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (TQS Ar Rahmaan: 13). Indonesia sendiri memiliki hamparan hutan hujan tropis terluas di dunia.
Namun, hari ini keseimbangan alamiah tersebut dirusak. Cuaca ekstrim dan pemanasan global serta deforestasi ditenggarai para ahli sebagai faktor yang paling bertanggungjawab terhadap gangguan siklus air. Semua berujung pada darurat kekeringan dan krisis air bersih, disamping pencemaran sungai dan danau serta eksploitasi mata air.

Kondisi ini diperparah oleh liberalisasi air bersih perpipaan. Sungguh kerusakan yang begitu nyata.
Bila ditelaah secara mendalam semua aspek yang berkontribusi terhadap darurat kekeringan dan krisis air bersih, baik itu aspek deforestasi, liberalisasi mata air oleh pebisnis AMDK dan liberalisasi air bersih, semuanya memiliki ruang subur dan lapang dalam sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi. Berikut dengan paradigma dan logika-logika batil yang menjadikan air dan hutan sebagai barang komersial.

Demikianlah kuatnya cengkraman neoliberalisme di negeri ini. Sayangnya, rezim dengan sistem pemerintahan demokrasi justru menyokong hal itu. Mereka enggan menghentikannya, bahkan menjadi fasilitator bagi kerusakan ini. Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan kita dalam QS Ar Rum: 30-41,” Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat ini memperingatkan kita agar kembali kepada syariat Allah, termasuk dalam mengatasi persoalan darurat kekeringan dan krisis air bersih. Aturan itu tak lain berupa sistem kehidupan Islam yang paripurna, meniscayakan keseimbangan dan kelestarian alam terjaga khususnya keberadaan hutan dan lahan serta iklim yang kondusif untuk keberlangsungan siklus air. Di sisi lain meniscayakan terwujudnya tata kelola sumber daya air yang benar.

Sehingga, krisis air bersih dan darurat kekerangan dapat segera diatasi. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah menegaskan, ”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107). (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.