Saat Hendak Mengejawantahkan “Islamku Islam Anda Islam Kita”

oleh -
oleh

SUARABOJONEGORO.COM – Sore yang menunjukkan keindahan. Langit menunjukkan pesona. Senyumnya khas menebarkan kehangatan, kewibawaannya yang tak kunjung padam, selalu konsisten dengan tugas yang diembannya.

Selamat sore wahai langit, kita adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, semoga kita bisa bekerjasama.

Sederetan orang berjubel rame sedang mengejar asa demi keluarga dan karir. Tak henti-hentinya mengedarkan beberapa potensi yang dimiliki. Menawarkan jasa pelayanan.

Senyum dan sapa mereka sangat hangat seperti sedang melayani seorang Raja. Ooh.. indahnya pesona pemandangan sore itu…!! Manusia Indonesia yang selalu berdamai dengan lingkungan dan keadaan.

Sore yang dikonotasikan sebagai finishing sebuah pekerjaan. Tentu waktunya untuk berhenti dan istirahat di rumah. Berkumpul dan bertemu dengan keluarga. Namun, nyatanya tidak semua orang sependapat dengan adagium itu.

Sore itu, saya duduk diantara penikmat kopi pojok terminal. Saya sedang menanti kedatangan para sahabat untuk sebuah janji yang telah dibuat.

Dipenantianku itu, warung pojok terlihat rame banget (Mungkin karna weekend). Obrolan disebelahku terkesan mengalir dan cair.

Tak henti-hentinya mereka tertawa terbahak-bahak, kadang sesekali saya ikut urun senyum saat tiba-tiba terdengar suara tawa (maklum orang jawa, tak kenal tak apa, asal ada tertawa ikutan ajaaa, ha.. ha.. haaaa),

Karna saya tak terlibat langsung dengan obrolan itu, maka tentu tak pantaslah jika ikutan terbahak-bahak.

Obrolan yang saya dengar dari mereka lebih banyak mengomentari soal “Asian Games” yakni ajang gensi-gensian antar Negara. Terdengar dari obrolan itu, begitu optimis dan bangganya mereka menjadi orang Indonesia.

Bahkan, diantara mereka ada yg komentarnya nganyelke ati. Gini katanya. Saya rubah dengan bahasa umum.

“Waaaah Pak Menteri ini gak konsisten dengan omongannya, dulu katanya target medali yang harus didapat Indonesia adalah 16 medali, lhah ini… Belum selesai gamesnya kok malah sudah mendapat 30 medali lebih, ini kan menunjukkan gak konsisten, Pak Menteri itu” kak kak kak (pecah lagi suasana, terbahak-bahak bangga).

Akhirnya, yang saya tunggu satu persatu pun datang. Sapaan dibalut senyum. Kental banget dengan mereka, tak lupa lips servis selalu mengawali ucapan.

“Maaf mas telat” katanya, dan selalu saya menjawabnya “Nyantai saja brooo, tak apa… gitu aja kok repot” hehehehe.

Saya memaklumi tentang eksistensi mereka, karna memang sahabat-sahabat yang satu komunitas ini kesibukannya berbeda-beda.

Kebetulan di sore itu ada teman dari Tulungagung, Jawa Timur. Dia anak muda yang tak pernah lelah bergerak. Seorang ketua organisasi yg passionnya ada di seni dan budaya.

“Walikukun” Nama kelompoknya. Sebelum semua hadir di tempat, dia (Septa panggilannya) bercerita banyak soal gerakan-gerakan dan pengalamannya di komunitas itu.

Bagaimana cara dia mengelola komunitas, biasa di undang ke luar Negeri, koneksi-koneksi tokoh budaya hingga bercerita soal pernah akan di tenggelamkan karena aksinya yang kritis terhadap pemerintah daerah waktu itu.

Tulisan ini bukanlah apa-apa. Hanya ingin saya jadikan sebagai kenanganku dan anak-anak ku nanti. Bahwa saya punya sahabat-sahabat dan pernah menjalin hubungan sesama manusia untuk menjadi pelayan manusia lain.

Dan, sore itu waktu menunjukkan kurang lebih pukul 17.00 WIB. Alhamdulillah semua sudah datang, waktunya memulai obrolan ringan yang telah kita sepakati.

Buku sudah ditangan, doa-doa kita lafadzkan dan kopi pun siap ikut berperan. Buku yang menurut kami syarat dengan perjuangan, pengorbanan, pembelaan terhadap yang lemah dan keberanian ini relevan untuk selalu kita kaji.

Beberapa kali saya membacanya. Namun selalu berakhir dengan skor rendah alias tidak lulus terus. Kini saatnya bagi saya dan beberapa teman berusaha komitmen untuk sering bertemu untuk sedianya sinau buku yang ciamik ini.

Buku yang disunting oleh Syafi’i Anwar dari penelusuran pemikiran dan gagasan-gagasan Gus Dur tentang Problematika Agama, Masyarakat Negara dan Demokrasi ini berjudul “Islamku Islam Anda Islam Kita”.

Buku yang terdiri dari 7 BAB ini menunjukkan kelasnya. Meskipun diakhir pendahuluan. penyunting mengatakan bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, baik dari sumber berita (Media kolom dan artikel tulisan-tulisan Gus Dur) yang sangat terbatas oleh ketersediaan aktualitas peristiwa maupun kesempatan menuliskannya.

Sehingga, untuk analisis struktural dan keterfokusan pembahasan masih kurang lengkap. Termasuk terkait keidealisan penggunaan disiplin akademis, yang begitu ketat.

Gus Dur bagi kami adalah Manusia ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa.
Nama dan perjuangan beliau tak pernah selesai untuk di kaji maupun di tulis.

Tentang bagaimana beliau memperjuangkan orang-orang atau kelompok tertindas hingga keberanian beliau dengan pasang badan menghadapi ketidak-adilan.

Karena saking kompleksnya kisah perjuangan beliau. Kami sementara mencoba mengkaji buku ini. Selalu berharap beliau Gus Dur hadir di tengah-tengah kita. Yang tentunya memberi suntikan semangat dan kekuatan kepada kami untuk melanjutkan perjuangan beliau.

Di awal pertemuan sore itu, kita hanya sedikit membahas gambaran umum soal buku ini. Lebih tepatnya belum masuk di BAB, masih di seputar pendahuluan. Untuk pertemuan sore itu, kita sepakati bersama, bahwa setiap pertemuan akan ada hasil tulisan resensi buku dari masing-masing individu. (*)

Penulis adalah Kaji Heri, sapaan akrap Koordinator Daerah Jaringan GURDURian Kabupaten Bojonegoro.

No More Posts Available.

No more pages to load.