Mencari Permasalahan Dasar Penyebaran Hoaks

oleh -
oleh
detik.com

SUARABOJONEGORO.COM – Kepolisian Republik Indonesia sedang gencar-gencarnya mengatasi penyebaran informasi yang mengarah ke hoaks. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut cemas dan meminta Kepolisian lebih tegas agar hoaks tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat. Akhir-akhir ini, polisi baru berhasil menangkap sindikat yang diduga penyebar hoaks seperti Muslim Cyber Army (MCA). Apakah MCA itu penyebar hoaks atau bukan, siapa yang berada di balik kelompok itu, apa latar belakangnya munculnya, hoaks jelas tidak baik bagi upaya membangun bangsa yang masih tercabik-cabik ini.

Sekadar menyebut data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap, bahwa saluran penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40 persen), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga menduduki posisi paling tinggi (91,80 persen) menyusul soal SARA, dan rentang waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30 persen). Sementara itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk tulisan (62,10 persen), menyusul gambar (37,50 persen), dan video (0,40 persen).

Penyebab

Meskipun imbauan demi imbauan terus dilakukan, hoaks tidak bisa dihapuskan. Ia hanya bisa ditekan kemunculannya. Berkurang atau tidak informasi hoaks ini sangat tergantung bagaimana cara pemerintah mengatasinya. Bukan berarti kita pesimistis pada pemberantasan hoaks, namun jika pemberantasan hoaks itu tebang pilih dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat hal itu akan sangat susah dilakukan.

Kita harus tetap optimistis bahwa pemerintah dengan alat negaranya mampu mengatasi hoaks yang sudah kelewat batas. Hoaks membuat pemerintah juga tidak bisa bekerja dengan baik karena terus terganggu, sementara harmonisasi dalam masyarakat juga terancam.

Pertanyaan kita kemudian adalah mengapa hoaks mendadak populer menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sangat sulit dihapuskan? Kita akan mencoba melihat secara lebih detail sebab musababnya.

Pertama, hoaks adalah gangguan dan bentuk perlawanan. Bagi pemerintah, hoaks jelas gangguan karena akan dianggap sebagai penyebar kebencian. Pemerintah di mana pun dan kapan pun akan menganggap segala ancaman pada kebijakannya akan dianggap mengganggu. Kita bisa ambil contoh pada era Orde Baru (Orba). Setiap perbedaan pendapat dari pemerintah akan dianggap sebagai rongrongan, mengancam stabilitas, dan bahkan subversif. Jika orang atau kelompok masyarakat sudah dituduh subversif, tak ada celah bagi mereka untuk menghindar dari sanksi. Mengapa begitu? Karena pemerintah punya alat kekuasaan untuk menekan dan mengatasi bentuk-bentuk yang dianggap merongrong kewibawaan pemerintah itu.

Sementara itu bagi masyarakat, hoaks muncul karena ada kebuntuan saluran komunikasi politik di pemerintahan. Bisa juga karena adanya ketidaksukaan pada kebijakan-kebijakan yang mereka anggap tidak memihak padanya. Bisa juga dikatakan hoaks adalah cara masyarakat menyalurkan aspirasi. Hanya saja, aspirasi yang dilakukannya penuh dengan kebencian dan cenderung satu arah saja. Orang yang sudah benci, selamanya akan tak mampu untuk berbuat adil. Tentu ini sudut pandang dari masyarakat yang menyebar hoaks.

Kedua, hoaks adalah cermin dari orang-orang penakut dan tidak jantan. Sebenarnya, dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik yang sehat diberikan dalam ruang yang lebih luas. Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa dijadikan alat penyaluran.

Namun demikian, kebebasan penyaluran informasi itu membuka peluang orang berkompetisi secara tidak sehat. Dalam hal ini, yang penting melawan. Jika amunisi sudah habis dan seseorang atau kelompok tidak bisa bersaing secara sehat sementara ia harus tetap melawan, hoaks sering menjadi senjata. Orang dengan leluasa melawan mereka yang berbeda pendapat. Jika kita melihat masyarakat, maka mereka akan melawan dengan cara apa saja yang penting uneg-uneg tersalurkan. Bisa dikatakan, hoaks adalah perlawanan orang-orang penakut. Lihat saja, banyak akun anonim yang bernada menghujat dan penyebar hoaks.

Apakah hoaks itu hanya melekat pada masyarakat? Pemerintah juga punya peluang melakukan hoaks. Masalahnya selama ini kesan yang berkembang, hoaks itu seolah hanya melekat pada masyarakat. Bahkan pemerintah bisa melakukan hoaks dengan lebih baik karena punya alat negara.

Apakah dengan begitu pemerintah itu hanya mau menangnya sendiri dan memandang sebelah mata protes dari masyarakat? Nanti dulu. Bisa jadi hoaks tidak disebarkan secara langsung oleh pemerintah tetapi oleh pendukung pemerintah. Pendukung pemerintah juga bisa berasal dari masyarakat kebanyakan, bukan? Bisa jadi karena tidak mau ada orang yang merongrongnya, atau sekadar reaksi karena ada hoaks kontra pemerintah, maka mereka terpancing menyebarkan hoaks pro pemerintah. Sehebat apapun mereka melawan hoaks, akibatnya mereka juga akan terjebak untuk menyebarkan hoaks pula. Sementara itu, bisa jadi pemerintah tidak tahu menahu bahwa hoaks juga berpotensi disebarkan oleh lingkaran pendukung pemerintahan.

Ketiga, hoaks muncul karena DPR mandul. DPR adalah lembaga legislatif atau wakil rakyat untuk mengawasi kinerja eksekutif. Tentu saja, masyarakat sangat berharap besar lembaga ini mampu menjadi wadah penyalur aspirasi. Namun yang terjadi ternyata tidak seideal yang diinginkan masyarakat. DPR kita mandul. Mandul ini bisa disebabkan karena mereka mementingkan dirinya sendiri, atau karena sudah menikmati gelimang fasilitas.

Memang, pemerintah di mana pun dan kapan pun berusaha untuk mempertahankan kekuasaan, salah satunya bagaimana “menguasai” legislatif. Pembiaran konflik yang selama ini terjadi di DPR tentu membuat pemerintah punya daya tawar politis untuk terlibat. Harusnya DPR sebagai kekuasaan eksekutif punya kekuasaan di atas legislatif namun dalam praktiknya, DPR di bawah kendali eksekutif. Tak heran jika kita jadi ingat istilah pada zaman Orba di mana DPR hanya jadi tukang stempel, tentu dengan kondisi yang berbeda.

Mengatasi

Mengatasi hoaks memang tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Ada banyak tali temali rumit yang menyertainya. Hoaks tidak bisa dihilangkan tetapi hanya ditekan. Tidak bisa dipungkiri hoaks yang berkembang selama ini tidak saja dampak dari perkembangan teknologi komunikasi tetapi juga perseteruan politik sejak 2014. Sejak itulah ada polarisasi kuat antarkubu mendukung dan tak mendukung kekuasaan politik. Antara mempertahankan dan menggugat dengan selubung gengsi politik.

Hoaks sangat mungkin cepat ditekan jika rasa keadilan dalam masyarakat bisa ditegakkan. Ini tidak bermaksud bahwa selama ini pemerintah tidak adil. Memang tidak mudah bisa memberikan kepuasan rasa adil ke semua lapisan masyarakat. Mungkin karena harapan masyarakat terlalu tinggi pada pemerintah waktu itu sementara penegakan hukum masih terkesan tebang pilih, apalagi terhadap kepentingan politik pemerintahan sendiri.

Mengatasi hoaks dengan menangkap pelaku memang penting. Tetapi meneliti dan mengatasi sebab musabab semakin meningkatnya hoaks tak kalah pentingnya. Ini sama saja saat kita mengatasi tindak kekerasan bukan hanya pada pelaku kekerasan tetapi mengapa dan siapa yang menjadi penyebab tindak kekerasan itu. Meskipun tidak popular tetapi ini cara yang mendasar untuk mengatasi keganasan penyebaran hoaks.

Nurudin dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Perkembangan Teknologi Komunikasi (2017)

*Sumber: detik.com

 

No More Posts Available.

No more pages to load.