suarabojonegoro.com – Sebuah kesadaran tidak begitu saja muncul di benak semua orang, dari tidak adanya kesadaran itulah maka munculnya penyadaran. Sebuah penyadaran juga membutuhka pemikiran. Sebuah solusi penyadaran dengan menerapkan strategi efek jera yang bertujuan menumbuhkan kesadaran pada setiap pribadi pribadi menemukan jalan kebenaran menuju sosok individu yg berkeadilan sosial. Munculnya ragam pendapat yang berkembang di masyarakat adanya iuran yang mengikat atau denda saat tidak mengikuti kegiatan perayaan “tujuhbelasan” di tingkat rukun tetangga, dukuhan atau tingkat desa. Bila sebuah keluarga seseorang tidak ada yang mewakili atau tidak mau secara bersama warga yang lain tidak mau ikut berperan aktif dalam kegiatan agustusan di kenakan denda atas dasar kesepakatan bersama warga. Dari sinilah muncul renik pendapat bahwasanya denda atas dasar kesepakatan bersama itu dikategorikan sebagai pemaksaan. Benarkah hal semacam itu
masuk kategori melanggar hak aszi sebagai warga negara yang merdeka dan hidup dalam sebuah negara yang merdeka, padahal kita ketahui yang berkategorikan “denda” itu sebuah titik puncak untuk mengangkat pencapaian pengakuan sebuah kemerdekaan.
Tepat sekali jika figur pejuang pejuang Republik ini yang rela mengorbankan harta bahkan nyawa sebagai taruhannya demi kemerdekaannya sebagai contoh perwujudan cinta tanah air. Mereka para pahlawan gugur membela kemerdekaannya tanpa menikmati kemerdekaan itu sendiri, tidak ikut menikmati kemerdekaan tidak mengapa asalkan bangsaku dan bumi tanah kelahiranku, tanah airku terbebas dari belenggu penjajahan.
Dari ilustrasi diatas apalah artinya ikut memperingati hari kemerdekaan yg telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita.
Jangan bandingkan dari tata nilai pengorbanannya dengan kita sekarang yang tinggal memperingati . Memperingati sekali lagi saya pertegas “Memperingati” yang dalam arti sempit kita hanya “mengigat” saja itupun bukan buat para pahlawan itu tapi untuk diri kita yang masih mau berstatus “bangsa” mungkin lain lagi kalau kita sudah tidak mau lagi di panggil bangsa, bangsa dalam hal ini tentunya “Bangsa Indonesia”. Bapak kita, bapak Bangsa Indonesia, bapak Proklamator kita Bung Karno sudah mengingatkan padakita “bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa para pahlawanya”. Bagaimana cara menghargainya mungkin perlu penyadaran dan kesadaran antar individu individu itu.
Memang dalam setiap individu itu mempunyai hah hak dasar dalam hidupnya tapi hanya dari rasa kebersamaan itu kita mampu membangun negeri ini seperti yang telah dilakukan para leluhur kita yang hanya mendapatkan gelar “Pahlawan” bessama-sama bersatu “saiyeg saekapraya”, bersatu berjuang tanpa pamrih merebut kemerdekaan, contoh ketauladanan itulah yg perlu tiru bersama sama mengisi kemerdekaan sesuai keahlian kita.
Ada satu pola berpikir kita yang belum mampu memandang arti kemerdekaan dalam “demokrasi berpikir” atau ” berpikir demokrasi” yang selalu tidak menempatkan demokrasi pada tempatnya (pada kursinya). Demokrasi pada kursinya memiliki arti dan makna yang sangat sangat luas. Contoh kasus adanya politisasi kemerdekaan pada paska dan pasca pilkades. saat pilkades jagonya kalah maka (ia)’seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mau proaktif dalam program pembangunan desa bahkan mereka menghambat terkadang juga fitnah agar (si kades pemenang) tidak berhasil membangun dan memimpin di mata rakyatnya, dengan harapan dan tujuan pada pilkades yang akan datang (suksesi 2018) untuk menggantinya. (*)