Kepulangan Haji dan Makna Kembali ke Tanah Air Pasca Melaksanakan Rukun Islam Kelima

Oleh Dr. Mukhamad Roni, S.E., M.E*

SuaraBojonegoro.com – Musim haji kembali usai. Para jamaah dari berbagai penjuru dunia telah menuntaskan rangkaian ibadah yang berat, sakral, sekaligus penuh makna di tanah suci Makkah dan Madinah. Bagi umat Islam, haji bukan sekadar perjalanan fisik lintas negara, melainkan sebuah perjalanan spiritual dan transformasi batin menuju kedewasaan iman. Maka, saat para jamaah kembali ke tanah air, bukan hanya tubuh yang pulang, tetapi juga jiwa yang baru lebih bersih, lebih matang, dan lebih siap menghadapi tantangan kehidupan.

Haji: Perjalanan Menemui Allah, Pulang Membawa Amanah

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Menjadi puncak penghambaan diri seorang Muslim, setelah ia menjalankan syahadat, salat, zakat, dan puasa. Dalam haji, manusia melepaskan atribut duniawi jabatan, status sosial, kekayaan dan bersatu dalam pakaian ihram sebagai simbol kesetaraan di hadapan Allah.

Pulang dari haji seharusnya membawa perubahan. Jamaah haji membawa gelar “haji” bukan sebagai gelar sosial, tetapi sebagai pengingat komitmen rohani yang telah mereka ikrarkan di hadapan Allah. Gelar itu adalah janji, sekaligus amanah, bahwa hidup pasca haji harus lebih bermakna, lebih taat, dan lebih membawa manfaat.

Dimensi Sosial Kepulangan Haji

Di tanah air, kepulangan jamaah haji menjadi momen yang penuh sukacita. Keluarga, tetangga, dan masyarakat menyambut dengan haru. Namun di balik euforia itu, terdapat harapan besar bahwa kepulangan seorang haji akan membawa pengaruh positif di lingkungan sekitarnya.

Seorang haji diharapkan menjadi teladan moral. Ia telah merasakan pengalaman spiritual puncak, menyaksikan langsung jejak Nabi Ibrahim dan Rasulullah SAW, serta berkontemplasi dalam keheningan Arafah. Maka, kehidupannya ke depan harus mencerminkan nilai-nilai kesalehan, keadilan, dan kasih sayang yang ia pelajari selama haji.

Baca Juga:  BANGGA MENJADI ORANG BOJONEGORO

Dalam konteks sosial, seorang haji seharusnya mampu menjadi katalisator perubahan. Ia bisa menjadi penggerak kegiatan keagamaan di lingkungan, penghubung silaturahmi yang renggang, serta pelopor dalam upaya perbaikan masyarakat—baik dalam aspek ibadah, pendidikan, hingga kepedulian sosial.

Kepulangan dan Tanggung Jawab Kebangsaan

Menarik jika kita mengaitkan kepulangan haji dengan tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam sejarah bangsa Indonesia, ibadah haji memiliki dimensi politik dan nasionalisme. Para tokoh pergerakan seperti Haji Agus Salim, Haji Misbach, hingga Haji Oemar Said Tjokroaminoto, menjadikan pengalaman haji sebagai pemicu semangat perubahan sosial-politik di tanah air.

Hari ini, tantangan kita memang berbeda. Tapi nilai-nilai perjuangan, integritas, dan pengabdian tetap relevan. Seorang haji masa kini harus terlibat dalam upaya pembangunan bangsa. Ia harus menjadi suara yang jujur dalam masyarakat, aktor yang adil di tengah kompleksitas ekonomi, serta pemimpin yang bersih dalam ruang birokrasi.

Kembali dari Makkah harusnya menyadarkan setiap jamaah bahwa ibadah bukan hanya soal hubungan dengan Allah (hablum minallah), tetapi juga hubungan dengan manusia dan lingkungan (hablum minannas dan hablun minal ‘alam). Maka, seorang haji tidak boleh apatis terhadap kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial yang ada di sekitarnya.

Transformasi Pribadi: Menjadi Hamba yang Lebih Tunduk

Setiap tahapan dalam ibadah haji mengajarkan nilai luhur. Thawaf menggambarkan totalitas penghambaan; sa’i mengajarkan ikhtiar yang tak mengenal lelah seperti Hajar; wukuf di Arafah menjadi momentum introspeksi dan pertaubatan; dan lempar jumrah mengajarkan keberanian melawan ego dan hawa nafsu.

Kepulangan dari haji harus memperlihatkan transformasi ini. Seorang haji idealnya lebih sabar, tidak mudah marah, tidak suka menggunjing, lebih banyak memberi daripada meminta, serta menjauh dari hal-hal yang sia-sia. Ia menjadi pribadi yang ramah, bersih hatinya, dan bersih pula tindakannya.

Baca Juga:  Ketika AI dan Coding Jadi Mapel Pilihan di SD-SMP: Apa Jadinya

Jika setiap tahun ratusan ribu jamaah haji pulang dengan semangat pembaruan ini, maka bangsa Indonesia akan dipenuhi dengan individu yang saleh secara pribadi dan produktif secara sosial.

Masyarakat dan Pemerintah: Menyambut dengan Pendekatan Kultural

Penting juga bagi masyarakat dan pemerintah untuk tidak hanya menyambut jamaah haji dengan seremoni simbolik. Yang lebih penting adalah membangun iklim pasca-haji yang kondusif. Misalnya, melalui forum alumni haji yang aktif melakukan pembinaan sosial, kegiatan ekonomi berbasis syariah, dan dialog kebangsaan.

Pemerintah daerah bisa memfasilitasi ruang-ruang pembinaan pasca-haji sebagai bagian dari upaya pembangunan karakter bangsa. Sehingga gelar haji tidak berhenti di ranah pribadi, tetapi menjadi bagian dari solusi sosial. Apalagi dalam konteks desa, peran haji sangat sentral ia bisa menjadi tokoh informal yang menjaga nilai dan harmoni sosial.

Refleksi untuk Kita Semua

Pada akhirnya, haji bukanlah tujuan akhir, tetapi titik awal perjalanan spiritual baru. Ibarat kertas putih yang bersih, haji memberi kita kesempatan untuk memulai hidup dari awal dengan niat dan amal yang lebih baik. Kepulangan ke tanah air seharusnya memperkuat komitmen kita untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki lingkungan, dan memperbaiki bangsa.

Semoga para haji yang pulang tahun ini menjadi insan yang mabrur dalam perilaku, bukan hanya dalam status. Dan semoga masyarakat kita menerima mereka bukan sekadar dengan pelukan, tapi dengan ruang partisipasi yang luas untuk membumikan nilai-nilai haji dalam kehidupan sehari-hari. (**)

*)Penulis adalah Akademisi, Praktisi Indonesia Belajar dan Mengajar