suarabojonegoro.com – Berkurban adalah setinggi-tingginya bentuk ibadah kepada Allah swt. Ibadah ini dijadikan salah satu ritual umat islam sebagaimana yang telah dilakukan nabi Ibrahim as. Ketika keimanan dan kecintaan nabi Ibrahim as diuji oleh Allah swt dengan cara disuruh menyembelih anaknya nabi Ismail as.
Tidak ada yang meragukan keimanan nabi Ibrahim as kepada Allah swt. Setiap gerak hidupnya dipasrahkan hanya untuk berdakwah. Sehingga tibalah Allah meningkatkan derajadnya dengan cara memerintahkan kepadanya untuk berkurban menyembelih anaknya.
Masya Allah, perintah yang sangat berat bagi kita sebagai manusia biasa ini dijalankan oleh nabi Ibrahim as dengan penuh keikhlasan. Tak terbayangkan bagi kita ketika memiliki harta yang kita cintai, anak yang sangat dirindukan, tiba-tiba diminta Allah swt untuk dijadikan kurban.
Di titik inilah puncak keimanan kita diuji. Seberapa besar cinta kita kepada benda dan makhluk Allah swt atau cinta kita kepada pemilik benda dan makhluk tersebut. Apalagi benda atau makhluk tersebut sudah lama kita idam-idamkan kehadirannya.
Tetapi nabi Ibrahim as mampu melewati ujian keimanan ini dengan mulus. Tanpa cela. Perintah Allah swt tersebut dijalankannya dengan baik. Pada akhirnya kemuliaanlah yang diperoleh nabi Ibrahim as beserta keluarganya.
Jika kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini, maka perintah kurban saat ini mungkin mudah bagi sebagian orang. Kewajiban yang “hanya” diminta menyembelih hewan kurban berupa kambing satu ekor bagi kalangan tertentu tidaklah berat. Lalu apa makna sesungguhnya dari perintah ibadah ini?
Berkurban dengan cara menumpahkan darah hewan adalah simbol agar orang berkurban menanggalkan “sifat-sifat kebinatangan” yang melekat pada dirinya. Diantara sifat tersebut adalah sifat egois, licik, kejam, suka menindas dan penuh tipu daya. Hendaknya seorang muslim menanggalkan “penghambaan kepada sesama makhluk”.
Berkurban senantiasa membentuk ketakwaan hamba kepada Allah swt. Ketakwaan ini diwujudkan dengan ketaatan hamba kepada perintah-perintah yang diberikan Allah swt dengan ikhlas. Sehingga menjadikan kita lebih dekat kepada Allah swt.
Di sisi lain, berkurban memiliki dimensi sosial. Tradisi berkurban pada hakekatnya juga mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat yang lain. Pada akhirnya ibadah kurban harus mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokal yang membutuhkan. Bahkan berkurban juga mampu merekatkan hubungan antar masyarakat yang mampu dengan yang kekurangan. Terlebih berkurban mampu mendekatkan saudara kita yang baru mengenal islam dengan baik (mualaf).
Jadi Allah swt memerintahkan hambaNya selalu berkurban adalah untuk mengharmonisasikan antara ibadah vertikal (hablum minallah) dengan ibadah horizontal (hablum minannas). Keduanya berjalan beriringan tanpa sekat dan harus senantiasa berdialektika. (*)