Swasembada Pangan Butuh Sistem Terbaik dan Pemimpin Kuat

oleh -
oleh

Oleh: Viva Izorra (Lingkar Opini Rakyat)

SuaraBojonegoro.com – Siapapun tau bahwa Indonesia adalah negara besar yang kaya akan sumber daya alam. Dengan hamparan kepulauan yang berjumlah ribuan dan garis pantai yang begitu panjang.

Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan, total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093 km. Sementara jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13.466 pulau. (nationalgeographic.grid.id).

Dengan potensi wilayah yang besar, baik lautan maupun daratan, baik yang terkandung dalam perut bumi maupun yang terhampar di permukaan, harusnya Indonesia mampu menjadi negara yang maju dan berdikari. Tidak bergantung kepada negara lain melalui utang maupun impor yang terus mengalir.

Namun fakta berkata lain. Indonesia masih menjadi negara yang terkategori berkembang dan jauh dari kata berdikari. Bahkan swasembada pangan pun masih sebatas janji-janji.

Dengan begitu panjangnya garis pantai, mestinya Indonesia mampu menjadi penghasil garam yang melimpah. Dapat mencukupi kebutuhan garam dalam negeri, bahkan bisa ekspor keluar negeri. Tetapi lucunya Indonesia justru impor, sehingga menyebabkan para petambak garam nasional gulung tikar.

Dengan begitu luasnya daratan Indonesia, mestinya mampu menghasilkan komoditas pangan yang beraneka ragam. Namun anehnya masih saja impor gula, beras, jagung, kedelai, dan aneka komoditas pangan lain. Yang menjadikan petani lokal kalang kabut kalah bersaing.

Sebenarnya apa yang terjadi pada negeri ini. Sudah puluhan tahun Indonesia merdeka dan berkali-kali ganti penguasa kondisinya masih begini saja. Tak kunjung ada perubahan, yang ada malah kian hari hidup rakyat makin susah.

Janji hanya tinggal janji

2014 silam rakyat dihipnotis dengan janji manis yang seakan membawa angin surga. Berharap menjadi sejahtera dengan slogan kerja, kerja, kerja. Berjanji tiga tahun akan swasembada pangan tapi malah impor beragam komoditas pangan.

Dalam acara penyerahan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2014 di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat, jumat, 26 desember 2014. Jokowi menuturkan, Indonesia harus sudah bisa mandiri atau swasembada pangan dalam tiga tahun. “Tidak boleh ditawar,” ujarnya. (bisnis.tempo.co, 26/12/2014).

Dalam kesempatan lain sebagaimana dikutip dari finance.detik.com, pemerintahan presiden Jokowi menargetkan swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula dalam 3 tahun ke depan. Tugas ini dibebankan kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman, bila dalam 3 tahun tak tercapai maka Jokowi siap mencopotnya.

“Sudah hitung-hitungan, 3 tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari fakultas pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa, hitung-hitungannya ada. Jelas sekali. Konsentrasi 11 provinsi, rampung, sudah ada perhitungan,” kata Jokowi dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung UGM, Yogyakarta, Selasa (9/12/2014).

Kini sudah masuk tahun 2019 dan apa yang pernah dijanjikan berbeda dengan kenyataan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor beras RI sejak awal tahun hingga Juli 2018 mencapai 1,18 juta ton, dengan impor tertinggi dari Thailand sebesar 665,9 ribu ton, Vietnam 502,7 ribu ton, dan Pakistan 21.345 ton. (cnbcindonesia.com, 20/8/2018).

Hingga April 2018, realisasi impor kedelai sudah mencapai 532.000 ton. Ketua Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Yusan mengatakan, realisasi impor ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. (kontan.co.id, 3/5/2018).

Untuk komoditas jagung, pemerintah terhitung dari 2018 telah memberikan izin impor sebanyak 2 kali yakni 100 ribu ton dan 30 ribu ton. Kemudian, pemerintah memberikan izin impor ketiga kali tanpa batas kuota tapi pelaksanaannya paling lambat pertengahan Maret 2019. (finance.detik.com, 29/1/2019).

Masih melalui kabar yang dikutip dari finance.detik.com, kebijakan pemerintah yang menetapkan kuota impor gula rafinasi sebesar 3,6 juta ton masuk ke Indonesia sepanjang tahu 2018 membuat petani bingung. Pasalnya, menurut Sekertaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin, alokasi impor gula rafinasi yang sebenarnya dikhususkan bagi industri tersebut terlalu banyak.

Ia menjelaskan, dari data yang ia miliki bersama asosiasi petani, kebutuhan gula industri di Indonesia hanya 2,4 juta ton. “Ini aneh kan, gula untuk industri terlalu banyak masuk padahal kebutuhan hanya 2,4 juta ton, kemudian kuota impornya 3,6 juta ton”, kata dia kepada detikFinance, Kamis (30/8/2018).

Sedangkan untuk garam, setelah pada tahun sebelumnya pemerintah mengimpor lebih dari 3 juta ton, kini pemerintah berencana mengimpor 2,7 juta ton garam tahun 2019. Angka ini turun hingga 1,7 juta ton dibandingkan impor garam tahun 2018. Meski demikian, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin mengaku kecewa dengan keputusan ini. Pasalnya, stok garam di awal tahun 2019 surplus hingga sekitar 1,6 juta ton. (kontan.co.id, 20/12/2018).

Wajar muncul banyak kritikan

Wajar jika kemudian banyak yang mengkritik dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat dan ingkar janji ini. Karena memang sangat bertolak belakang dengan apa yang dulu pernah dijanjikannya.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Titiek Soeharto melontarkan kritik terkait janji kampanye Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla saat pemilihan presiden 2014. “Waktu itu ada janji dalam waktu tiga tahun akan swasembada padi jagung kedelai, tapi nyatanya sampai sekarang bukan swasembada malah impor”, ujar Titiek di Cilegon, Rabu, 14 November 2018.

Titiek mengkritik langkah impor yang dilakukan pemerintah Jokowi. Padahal, menurut dia, Indonesia adalah negara yang kaya raya. “Tapi dari beras, jagung, cabai, sampai cangkul diimpor”, ujar Titiek. (bisnis.tempo.co, 16/11/2018).

Anggawira, seorang politikus yang juga ketua bidang organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menilai tingginya tingkat impor pangan yang dilakukan pemerintahan Jokowi selama empat tahun terakhir, bertolak belakang dengan janji kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 lalu.

“Sekarang saja terus muncul izin impor beras dan bahan-bahan pangan lainnya. Padahal semua orang tahu janji Jokowi dulu akan setop impor bahan pangan”, kata Anggawira dalam keterangannya di Jakarta (17/10). (jpnn.com, 18/10/2018).

Begitu juga dengan Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli yang mempertanyakan konsistensi janji politik Presiden Joko Widodo pada kampanye Pilpres 2014 silam dengan kebijakan yang dibuatnya saat menjabat. Terutama menyangkut kebijakan impor.

“Kalau kita lihat pidato-pidato kampanye Pak Jokowi tahun 2014, beliau banyak sekali pidato perlunya kedaulatan pangan agar impor beras bakal distop, impor ini distop, macam-macam”, ucap Rizal dalam program Prime News yang disiarkan stasiun TV swasta, CNN, Rabu (30/1).

Banyak orang yang tertarik dengan pidato Jokowi ketika itu yang pada dasarnya pelaksanaan dari Tri Sakti agar Indonesia punya kedaulatan ekonomi. “Nyatanya setelah empat tahun kok yang terjadi sebaliknya, kita jadi importir gula paling besar di dunia. Kita impor macam-macamlah jagung, beras, kedelai, dan lain sebagainya”, ucap Rizal Ramli yang juga mantan menteri koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya era Jokowi. (politik.rmol.co, 31/1/2019).

Butuh pemimpin yang kuat dan sistem terbaik

Barangkali memang ada yang salah dalam pengelolaan negeri ini. Barangkali memang negeri ini sedang dikelola oleh mereka-mereka yang kurang berkompeten dan amanah. Pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membangun Indonesia menjadi negara berdikari yang rakyatnya makmur dan sejahtera dengan swasembada pangan.

Maka perlulah kita merenungkan dan menindaklanjuti apa yang pernah disampaikan oleh salah seorang ilmuwan politik senior Prof. Salim Said dalam acara diskusi di ILC (22/1/2019), bahwa sejak berdirinya hingga saat ini negeri kita masih berproses mencari sistem yang terbaik. Sejarah indonesia adalah sejarah pergantian sistem dan pergantian konstitusi.

“Mungkin sistem kita yang ada sekarang ini sebentar lagi akan kita ubah. Mungkin. Mudah-mudahan kita ubah dengan cara beradab. Tidak perlu memerlukan kekerasan tapi berdasarkan kesadaran ada yang lebih baik dari pada yang kita praktekkan sekarang ini. Masalahnya memang untuk itu diperlukan pemimpin yang kuat. Kalau pemimpinnya tidak kuat, tidak jelas apa maunya, dia akan terombang-ambing dan pemimpin yang terombang-ambing akan mengorbankan rakyatnya, ucapnya.

Well, negara yang besar seperti Indonesia ini memang tidak boleh dipimpin oleh mereka yang lemah, sehingga mudah terombang-ambing oleh kepentingan apalagi menjadi antek asing. Indonesia butuh pemimpin yang mumpuni, kuat dan amanah.

Dan sekuat apapun seorang pemimpin jika sistem yang digunakan untuk mengelola dan mengatur negeri ini adalah sistem yang tidak tepat maka tetap saja akan jalan di tempat. Untuk itu dibutuhkanlah sistem yang terbaik, sistem terbaik itu bukanlah sistem buatan manusia seperti sistem kapitalisme demokrasi neoliberal yang terbukti rusak dan merusak seperti ini. Sistem yang terbaik itu tidak lain adalah sistem yang telah diturunkan oleh dzat yang maha baik, itulah sistem Islam.

Mudah-mudahan dengan semakin meningkatnya kesadaran umat akan pentingnya Islam agar diterapkan dalam segala lini kehidupan maka harapan ini akan segera terwujud. Karena Islam adalah rahmatan lil alamin yang jika diterapkan secara total akan membuat sejahtera bukan hanya umat Islam saja tetapi seluruh umat manusia dan seluruh alam. (JW )

No More Posts Available.

No more pages to load.