Pilkada dan Harapan Perubahan Positif di Daerah

oleh -
oleh

SUARABOJONEGORO.COM – Setelah melewati alur-alur mulai dari proses kampanye, pemungutan suara, rekapitulasi dan penetapan, saat ini Pilkada Serentak 2018 masuk pada tahap pengumuman hasil audit kampanye dan menunggu penyesuaian MK terkait penetapan kepala daerah terpilih. Momentum 5 tahunan ini merupakan momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat selain Pilpres. Kabar Pilkada Serentak 2018 menjadi salah satu topik besar di media-media regional maupun nasional.

Selain itu, obrolan terkait pilkada dalam tataran lapisan bawah juga dirasa sangat intensif terjadi di tempat berkumpulnya warga seperti warung kopi, pangkalan ojek, dan lain-lain akibat ditariknya kelompok masyarakat ke dalam tim pemenangan paslon. Bahkan kabar pilkada serentak juga masuk ke ranah perguruan tinggi; tidak sedikit tawaran menjadi tim sukses kepada mahasiswa.

Entah karena karakteristik masyarakat Indonesia yang rata-rata keras dan fanatik akan identitas, bentrok saat berjalannya pilkada pun tidak dapat dielakkan. Bentrok yang terjadi antar dua kubu timses paslon Bupati Empat Lawang Sumatera Selatan salah satu contohnya. Kejadian bentrok ini menewaskan satu orang, dan menjadi salah satu catatan hitam kelamnya proses elektoral di Indonesia pada tahun ini.

Namun, terlepas dari itu semua, hal ini tentu menunjukkan bahwa tingkat antusiasme masyarakat dalam pengawalan proses Pilkada 2018 sangatlah tinggi. Kemudian pertanyaan yang timbul, apakah pilkada selesai dalam proses kampanye hingga rekapitulasi bahkan penetapan kepala daerah terpilih saja? Jawabannya, belum. Tentu proses pilkada ini merupakan pintu awal yang paling menentukan perubahan-perubahan yang positif bagi daerah ke depannya.

Masyarakat setelah ini harus tetap mengawasi visi-misi paslon kepala daerah terpilih yang akan dikonversi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Daerah (RPJPD) dengan jangka waktu 5 tahun yang berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berisi rencana pembangunan daerah 25 tahunan. Dalam hal implementasi pun RPJPD masih harus disesuaikan dengan RPJMD.

Berangkat dari hal itu, jika masyarakat pasca-pilkada memutuskan diri untuk tidak mengawal jalannya pemerintahan daerah maka kecil kemungkinan kebutuhan masyarakat di lapisan terbawah mampu terjawab oleh produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di tataran terbawah yakni desa sebagai salah satu forum masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya seringkali hanya dihadiri oleh elite desa seperti Kepala Desa dan Sekertaris Desa. Sehingga, kita boleh berspekulasi bahwa Musrenbang selama ini belum secara maksimal menyerap seluruh aspirasi dari masyarakat. Belum selesai di situ saja, lepasnya pengawasan masyarakat juga terjadi pada alur penetapan APBD mulai dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA), Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rancangan Perda APBD sampai Penetapan APBD oleh DPRD seringkali berakibat pada tidak tercantumnya aspirasi masyarakat.

Belum lagi jika hal tersebut pada akhirnya berimbas pada adanya dana hantu yang dialokasikan dan tidak tercantum dalam anggaran belanja akibat politik transaksi menjelang pilkada, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) oleh pemerintah. Akibat fatal dari hal ini adalah pilkada tidak memberikan dampak positif bagi daerah dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat khususnya dalam sektor pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Akhir 2017 lalu Ombdusman Republik Indonesia (ORI) –sebagai lembaga pengawas eksternal pelayanan publik baik yang dilakukan oleh pemerintah termasuk BUMN, BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang seluruhnya atau sebagian dananya berasal dari APBN atau APBD sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008– mengeluarkan hasil riset penilaiannya terkait sektor pelayanan publik. ORI menggunakan penilaian berdasarkan tingkat kepatuhan eksekutor, mulai dari kementerian, pemerintah provinsi, hingga kabupaten/kota yang dikategorikan dalam tiga zona yakni hijau (baik), kuning (menengah), dan merah (buruk).

Dari riset tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah mulai dari provinsi sampai kabupaten/kota kurang patuh dalam pemenuhan pelayanan publik dasar jika dilihat dari kecilnya persentase kepatuhan pemerintah daerah yang termasuk dalam zona hijau. Bahkan ORI mengklaim hasil ini jauh dari prediksi RPJMN 2015-2019.

Di tataran pemerintah provinsi (pemprov) misalnya, penilaian terhadap pemenuhan komponen standar pelayanan di 22 pemprov menunjukkan bahwa sebanyak 27,27% atau 6 pemprov masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi, 45,45% atau 10 pemprov masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang, dan 27,27% atau 6 pemprov masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah.

Hal tersebut juga terjadi dalam pemenuhan komponen oleh pemerintah kabupaten (pemkab); dari 107 kabupaten menunjukkan bahwa sebanyak 44,86% atau 48 pemkab masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah, 42,99% atau 46 pemkab masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang, dan 12,15% atau 13 pemkab masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.

Sedangkan di tataran pemerintah kota (pemkot), dari 45 pemkot sebanyak 17,78% atau 8 pemkot masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah, 48,89% atau 22 pemkot masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang, dan 15% atau 15 pemkot masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.

Kesimpulannya, masih banyak terjadi ketimpangan sosial di daerah. Misalnya di sektor pendidikan, angka putus sekolah akibat kekurangan biaya masih menjadi masalah kultural akibat alokasi dana yang seharusnya 20% dari APBD tidak dialokasikan penuh sesuai persentase. Di sektor kesehatan, banyak terjadi penelantaran masyarakat tidak mampu dalam mengakses pelayanan kesehatan meskipun sudah ada BPJS, dan alokasi dana kesehatan 10% dari APBD masih belum menjawab kebutuhan masyarakat tidak mampu.

Berangkat dari hal tersebut maka harapan besar dari usainya pilkada serentak ini sebenarnya tertuju pada dua lini yakni masyarakat dan pemerintah daerah. Harapan kepada masyarakat usai pilkada serentak ini agar masyarakat kembali bersatu dan lebih berdaulat lagi, dalam hal ini bukan hanya dalam proses pilkada sebagai tim sukses dan lain-lain tetapi masih ada tugas yang lain yakni pengawasan jalannya pemerintahan.

Selain itu masyarakat harus mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan produk kebijakan, sesuai dengan konsep demokrasi yang berangkat dari Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Tidak lupa juga ucapan selamat kepada kepala daerah terpilih dalam momentum Pilkada Serentak 2018, semoga mampu mengemban amanah yang dipikul selama periode 5 tahun mendatang, dan janji politik yang digaungkan dalam proses kampanye benar-benar diwujudkan.

Kemudian yang paling penting bagi kepala daerah terpilih adalah mentaati ketentuan hukum yang membatasi kekuasaan serta menjadi pedoman pemerintah daerah dalam membuat produk kebijakan demi kebaikan seluruh elemen masyarakat. Ketika masyarakat mampu berperan aktif mulai dari proses pemilihan umum sampai berakhirnya periode jabatan, ditambah dengan kesadaran kepala daerah mengenai peran, fungsi, dan tugasnya, maka harapan besar yakni perbaikan-perbaikan positif di daerah dapat diwujudkan.

Penulis : Faris Fauzan Abdi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, relawan Sekolah Anti Korupsi Malang Corruption Watch
*Sumber detikcom

No More Posts Available.

No more pages to load.