Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus

oleh -
oleh

Yang paling menyenangkan buat saya adalah saya punya Allah, paling menyenangkan buat kita, umat manusia, adalah kita semua punya Allah. Sungguh luar biasa. Untuk siapa orang yang memang benar-benar bertuhan Allah, saya dan kita suka tergagap-gagap menyandarkan segala seuatu kepada selain Allah. Akhirnya kita tidak menemukan keajaiban. Tidak ada keajaiban, karena memang kita tidak bertuhan Allah. Kalimat kitalah yang mengatakan kita bertuhan Allah. Tapi ketika bertemu dengan case by case, problem by problem, hajat demi hajat, kelihatan bahwa memang ternyata tuhan kita belum sepenuhnya Allah Jalla jalaluhu.

Kita Punya Allah

Ada kisah yang paling saya senang yaitu kisah Nabi Musa, ketika Musa dan ratusan ribu pengikutnya ada di tepian laut, sudah tidak ada jalan keluar, no way out. Tidak kelihatan jalan selamat. Fir’aun dengan tentara sudah kelihatan. Al Qur’an menggambarkan dalam surah as Syu’ara, dua kelompok besar ini sudah bertemu, dan saling melihat, Fir’aun dengan tentara, the best army in the world at the time, sudah melihat Musa dan pengikutnya. Musa dengan the weakesst ummahs saat itu. The Lemah-ers. Umat yang paling lemah.

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. (61) Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (62) 

Saat itu kaum Nabi Musa berkata; kita pasti tertangkap, kita pasti kena, kita pasti tenggelam, kita pasti celaka. Pikiran-pikiran jelek yang kita temukan di kehidupan kita, ketika akal kita mounting, kita menjadi punya kalimat pengikut Musa. Tapi kemudian Nabi Musa berdiri, sebagai seorang pemimpin, imam, Nabi, Beliau bilang, tidak mungkin kita tertangkap, tidak akan kena, tidak akan celaka. Pengikut Musa tetap; tidak mungkin bagaimana? Tdakkah engkau lihat, Musa, laut di depan, mau lari ke mana kita? Di Belakang Fira’un makin dekat. Musa bilang; kalian tidak melihat Allah, yang kalian lihat hanya ketakutan, hitungan matematis, kemampuan, keadaan, di sekeliling kalian, sehingga tidak melihat Allah.

Kenapa? Inna Ma`iya Rabbi Sayahdini, karena Allah bersamaku. Kalimat ini yang mahal, sampai solusi satu, dua, tiga, empat, dan lima ditutup Allahlah baru manusia terpaksa beriman. Makanya saya tidak kaget kalau banyak orang dibiarkan Allah berguguran seluruh harapannya. Saat kita sudah tidak ada, ini yang sering disebut kita nol-kan dulu. Kalau kita bisa nol; la ilaaha, baru muncul ilallah. Jaman sekarang suami-istri kalau masih ada mobil, ketika anak bertanya; ayah bagaimana kuliah saya? Beres, nanti ayah jual mobil. Tidak dia sebut Allah. Kalau masih ada motor, dia akan sebut motor. Kalau masih ada saudara punya uang, teman masih bisa pinjam, dia sebut selain Allah. Kapan dia sebut Allah di terakhir?

Kita sebagai keluarga besar ICMI diajarkan untuk menyebut Allah lebih dulu; sabbihismarabbikal a’laa. Sebutkan nama Tuhamu. Jangan menyebut yang lain. ‘Nanti kalau dagangan bapak sudah laku, bapak bisa berangkatkan kamu ke mana kamu suka’. ‘Nanti kalau tanah kita sudah laku, kita akan pergi umrah”. “Nanti kalau rumah kita sudah terjual, kita akan pergi haji’. Bahkan tidak ada setelahnya. Maka saya perkenalkan kalimat sederhana: “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus”.

Semua Milik Allah

Sang anak bertanya; Ayah, bagaimana daftar ulang, mungkin tidak saya teruskan kuliah? || Kenapa tidak? Ada Allah. Harusnya begitu. Ada mobil, maskawin, deposito, tidak usah disebut, karena tidak akan laku bila Allah tidak ijinkan anak itu kuliah. Bagaimana biaya kita menikah? Kebanyakan di antara kita, apalagi kalau masih ada tuhan-tuhan yang lain, Allah tetap tidak tersebut. Terakhir, nanti kalau kita sudah tidak punya apa-apa. Orang yang terakhir, misal, kita pikir kalau kita datang ke adik, yang dulu kita yang kuliahkan dan nikahkan, mulai kita berikan modal buka usaha kemudian jadi pengusaha besar. Kalau orang yang kita harapkan malah menutup pintu, mencacimaki, menghina, sebagai kakak yang terus menerus memberatkan.  Saat itu kita akan menyebut Allah dengan sebenar-benar sebutan. “Ya Rabb memang hanya Engkaulah”. Harusnya dari dulu.

Maka saya ajarkan kepada teman-teman semua. Kesulitan pangan tidak akan kita rasakan, kalau tuhan kita memang bukan duit, pelaku pasar, dan regulator. Tidak ada urusan dengan semua. Mereka semua hanya alat. Kenapa daging harus tergantung dengan pedagang. Kenapa harus kita sebut nama tengkulak, dan sistemnya. Tidak kita sebut Allah. Padahal kita sepakat: Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka.. harusnya: wal pangana pangan-uka dan  turunannya: dagingu danging-uka, sayuru sayur-uka…

Kita bilang harga daging naik karena berpikir beli daging harus pakai duit. Padahal tidak ada urusan sama duit. Semua milik Allah. Kenapa kita minta sama leasing yang bergantung uang DP kita. Saya ajarkan bapak dan ibu, pemirsa semua. Ayo buktikan kebenaran ini. Yang ada keajaiiban dari Allah SWT. Duit tidak terpakai. Semua milik Allah, mintalah sama Allah.

Saya sudah  membuktikan, di usia saya yang muda ini, dengan izin Allah, saya tidak mau mundur. Ah itu kan, ustad. Lho, memang saya langsun jadi ustad? Saya justru itu marah jadi orang miskin. Emang enak jadi orang miskin? Saya mau beli sate padang saja harus menabung. Saya bilang sama istri, kita shalat dhuha, nanti kita shalat malam, minta sama Allah. Lillahi ma fis samawati wama fil ardh. Semua ini milik Allah. Minta kepada Allah saja.

Saya belajar dari ibu saya. Ketika saya punya masalah, saya bawa-bawa sertifikat orang untuk digadaikan kepada orang lain. Seritfikat itu bukan punya saya. Orang itu cuma bilang: ‘kalau kamu memang dapat duit kita bagi dua’. Tapi ya Rabb, sertifikat ini jatuh ke tangan orang yang menagih. Tidak kuasa saya menahan. Sertifikat ini pindah tangan. Saya lapor sama ibu saya. Ibu doakan saya. Susah banget ya Allah, tertimpa tangga sekarang tambah sertifkat orang lagi. Ibu saya bilang: antakan ibu ke rumahnya. Saya tanya: mau apa ibu ke sana?. Ibu mau ngomong. Saya bilang: jangan nanti saya malu. Apa kata ibu saya? Memang Ibu mau ngomong sama dia? Ibu mau bicara sama Allah, Allah yang sudah mengambil sertifikat ini. “wa inna sertifikata sertifikat-uka..  Saya jadi saksi bagaimana ibu saya berdoa dan sertifikat ini dikembalikan.

Saya dulu ingin membeli ruko di Jakarta Timur. Saya dapat izin dari Allah SWT menyelenggarakan S1, ibu saya mendengar saya ambil ruko, antarkan ibu ke ruko. Sampai di sana ibu saya bilang: kumpulin siapa yang bisa dikumpulkan; satpam, tukang bangunan, anak SD, orang lewat. Kita berdoa, gedung ini punya Allah. Singkat cerita, kita berdoa mudah-mudahan puasa ini diterima Allah. Pokoknya,  kita minta hanya kepada Allah dan jangan sempat lagi kita bergantung kepada selain Allah.

 

oleh: Yusuf mansur

sitarlingicmi.wordpress.com

No More Posts Available.

No more pages to load.