26 Tahun Tekuni Usaha, Kini Miliki Banyak Pelanggan Luar Daerah

oleh -
oleh

SUARABOJONEGORO.COM – Meski terkendala modal. Namun Sukoyo tetap bertahan dengan usahanya tersebut. Alhasil, ia memiliki banyak pelanggan di luar darah. Usahanya itu, ia geluti selama 26 tahun. Bahan dasar pembuatan cobek, campuran pasir dan semen.

Sing itu, wajah Sukoyo nampak sumringah. Sebeb pengrajin cobek asal Kelurahan Jetak itu baru saja menyelesaikan 60 cobek dan uleg siap kirim. Meski keringat terus keluar dari wajahnya, namun ia tampak semangat mengeluarkan puluhan uleg yang habis direndam selama satu hari di tempat khusus perendaman.

“Direndam itu supaya cepat padat dan mengeras,” ujarnya sembari mengeluarkan cobek.

Cobek dan uleg buatannya terbuat dari campuran pasir dan semen. Cobek yang dihasilkan dari tangan kreatifnya berukuran variatif. Dari diameter 15 centimeter hingga 60 centi meter. Sedangkan berat cobek mencapai 5 kilogram. Pria berumur 50 tahun itu membuat cobek sejak tahun 1991. Perharinya, ia mempu memproduksi 50 hingga 70 cobek dan uleg.

“Sekarang saya produksi bersama anak saya,” katanya sembari menunjukan cobek buatannya.

Awalnya Sukoyo memiliki 7 pekerja. Namun pada 2005 hingga sekarang, ia produksi cobek dan uleg dibantu istri dan anaknya. Tujuh pekerjanya itu, kata Sukoyo, keluar karena sudah dapat ilmu membuat cobek berbahan semen dan pasir. “Sekarang mereka membuat cobek sendiri, tapi rata-rata mereka di luar kota,” ucap pria kelahiran Kebumen Jateng itu.

Alat- alat yang digunakan untuk membuat cobek cukup sederhana. Yakni cangkul, gerinda dan mesin bubut modifikasi. Cangkul untuk mengaduk dan meratakan pasir dan semen. Sementara mesin bubut modifikasi digunakan untuk mencetak cobek. Sedangkan gerinda untuk menghaluskan cobek yang telah dicetak. Bagi pemula, proses pembuatan cobek memang cukup rumit. Satu cobek bisa 1 jam hingga 2 jam.

“Tapi kalau sudah terbiasa, satu cobek hanya membutuhkan waktu 10 menit,” katanya.

Setelah dicetak, puluhan cobek dan uleg harus dijemur atau dipanaskan dibawah terik matahari selama 1 hari. Setelah itu, baru direndam dengan air selama 1 hari. Setelah proses perendaman selesai, maka tahap selanjutnya adalah finishing dengan menghaluskan cobek dan uleg dengan mesin gerinda. Cobek dan uleg buatan Sukoyo berbahan sama.

“Komposisinya dua karung pasir satu karung semen,” ucap sembari menunjukan uleg buatanya.

Hasil kerajinan tangan pria berkulit coklat itu, pemasarannya tidak hanya di pasar tradisional Bojonegoro saja. Melainkan sudah menembus pasar tradisional luar daerah. Misalnya, Blora, Ngawi, Madiun, Tuban, dan Suarabaya. Sukoyo memiliki pelanggan di lima daerah itu. Pengiriman cobek dan uleg buatannya, tergantung pada stok pelanggan. “Jika stok pelanggan hampir habis, kami langsung mengirim,” ucap pria beranak 2 itu.

Sukoyo tidak lantas setiap hari mengirim. Melainkan seminggu sekali. Terkadang sebulan sekali baru mengirim ke beberapa pelanggannya itu. Setiap kali kirim, Sukoyo mengirim 350 cobek dan ulegan. Biaya awal dalam bisnis pembuatan cobek berbahan pasir dan semen itu sekitar Rp 4 juta. Namun, dengan uang Rp 4 juta itu hanya cukup untuk membeli bahan dasar cobek. Belum sampai produksinya.

“Kalau ditotal semua, perkiraan membutuhkan biaya Rp 50 juta,” ucapnya.

Sukoyo dibantu istri dan anaknya, memproduksi cobek mulai pukul 08.00 hingga 16.30. Namun jika banyak pesanan, bisa jam produksi bisa sampai malam. “Sebab, jika tidak dilembur khawatirnya keteran,” katanya. Pesanan paling banyak yang pernah ia terima sekitar 600 cobek dalam jangka waktu satu bulan. Meski banyak dikirim keluar daerah, tetangga sekitar rumah juga banyak yang membeli cobek buatannya.

Harga cobek buatan Sukoyo cukup terjangkau. Mulai dari harga Rp 10 ribu hingga Rp 45 ribu. Untuk pemasarannya, ia beru menggunakan jaringan teman. Belum pernah memasarkan secara online. Pada awal produksi, ia penah menggunakan jasa sales untuk memasarkan cobek buatannya itu. Namun, hasilnya dirasa kurang maksimal. “Alahamdulillah jaringan teman banyak membantu,” ucapnya sembari tersenyum.

Saat ini kendala yang dialami Sukoyo adalah cuaca yang tidak menentu dan sulit di tebak. Jika musim hujan, otomatis proses pengeringan menjadi agak lama. Namun jika musim kemarau, proses pengeringan agak cepat. Sementara Sukoyo tidak memiliki alat pemanas (oven) untuk proses pengeringan. “Kalau musim hujan seperti ini, terkadang sampai dua hari baru kering,” ucapnya.

Selain itu, modal juga menjadi modal utama bagi Sukoyo. Ia mengaku belum bisa memproduksi banyak lantaran terkendala modal. Ia berharap uluran tangan dari pemerintah untuk memberikan modal untuk mengembangkan usahanya itu. “Harapannya ya, semoga pemerintah memperhatikan usaha kami,” tutupnya. (yud/red)

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.