Pilkada Jatim: Merawat Demokrasi dalam Kebhinekaan

oleh -
oleh
Ilustrasi google.com

SUARABOJONEGORO.COM – Kualitas pilkada akan berjalan dengan baik salah satunya diukur dengan tingkat partisipasi pemilih. Karena tingkat pertisipasi pemilih berhubungan dengan legimatisi kepala daerah terpilih. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka akan berpengaruh pada kuatnya legitimasi moral dan politik terhadap kepala daerah terpilih. Dan, kita patut bersyukur dan memberikan apresiassi yang tinggi kepada masyarakat yang telah menggunakan hak politiknya di pilkada serentak kali ini.

Selain tingkat partisipasi pemilih, kualitas pilkada juga diukur sejauhmana kedewasaan politik elite dan masyarakat dalam melaksanakan demokrasi elektoral ini secara sehat dan elegan. Dalam pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada 27 Juni 2018 mendatang, Jawa Timur (Jatim) merupakan provinsi yang paling banyak menyelenggarakan hajatan. Dari 171 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, 19 di antaranya di Jawa Timur.

Sembilan belas daerah tersebut adalah Pilgub Jatim, 13 kabupaten, dan 5 kota. Fragmentasi politik parpol sangat cair antar satu daerah dengan daerah lain, baik secara vertikal; tingkat provinsi, maupun horizontal; tingkat kabupaten/kota. Dukungan dan koalisi parpol terhadap paslon di tingkat provinsi tidak linier dengan yang ada di kabupaten/kota. Begitu juga, antar kabupaten/kota, dukungan masing-masing parpol berbeda-beda.

Fragmemtasi politik yang sangat cair tersebut, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan berpotensi menimbulkan kekisruhan sosial-politik di tingkat akar rumput atau massa pendukungnya. Pilgub Jatim yang hanya diikuti dua pasangan –Gus Ipul-Mbak Puti dan Khofifah-Emil– dengan memperebutkan basis sosial-politik yang relatif sama, akan menimbulkan persaingan yang sangat ketat.

Persaingan yang semakin ketat ini berpotensi memunculkan sentimen kultural; sentimen suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Namun demikian, perlu dipahami bersama bahwa dalam demokrasi, preferensi politik pemilih berdasarkan apa saja, termasuk SARA atau apapun adalah sah dan konstitusional. Karena itu, tidak usah terlalu dikhawatirkan, selama dilakukan dengan cara-cara yang demokratis, tidak ada tekanan dan intimidasi.

Beda pilihan politik jangan sampai mengorbankan semangat dan prinsip dasar persatuan dan kesatuan bangsa. Kita berharap, polarisasi politik dan kultural dalam pilkada serentak ini hanya berlangsung pada, menjelang, dan saat pemilihan. Pasca pemilihan, masyarakat akan kembali pada garis kesimbangan baru, yakni bersatu kembali, spirit dan prinsip Bhineka Tunggal Ika kembali hadir dalam kehidupan bermasyarakat.

Merawat Demokrasi dan Kebhinekaan

Momentum Pilkada Serentak 20188 ini, termasuk di Jatim, setidaknya dapat dijadikan sebagai ajang untuk dua soal, yakni pertama bagaimana pilkada dapat merawat spirit dan prinsip demokrasi yang sehat dan tumbuh kembang secara berkelanjutan. Kedua, di tengah fragmentasi sosial-politik, baik di tingkat elite politik maupun di tingkat basis massa yang begitu cair, bagaimana pilkada serentak dapat merekatkan kembali dan menjaga spirit kebinekaan kita dalam wadah semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Pertama, merawat spirit dan prinsip demokrasi. Dalam prinsip demokrasi elektoral, spirit dan komitmen harus ditumbuhkembangkan pada diri elite dan pendukungnya, yakni sikap “siap menang, juga siap kalah”, bersikap ksatria dan legowo mengakui dan menerima kekalahan. Kerapkali, seseorang siap menang, tapi tidak siap kalah yang kemudian berujung masalah. Kita bisa belajar dari Pilkada DKI Jakarta pada putaran 1, khususnya dari Paslon Agus-Silvi, di mana Agus secara ksatria mengakui dan menerima kekalahan (legowo) dan mengucapkan selama kepada dua paslon yang lolos ke putaran dua.

Sebelum kontestasi politik elektoral digelar, para paslon dan pendukungnya sudah berkomitmen dan menandatangani pakta integritas dalam proses pilkada ini, yakni menjadikan pilkada sebagai wahana pendidikan politik yang mencerdaskan dan mencerahkan, menjadikan pilkada yang luber dan jurdil, dan pernyataan “siap menang dan siap kalah”. Sikap dan perilaku demokratis ini setidaknya akan menjadi modal politik berharga bagi bangsa kita dalam membangun demokrasi yang sehat, sejuk, dan berperadaban.

Kedua, menjaga kebhinekaan. Secara sosial-politik, kontestasi pilkada serentak telah menimbulkan fragmentasi di tingkat elite dan massa akar rumput. Masyarakat terpolarisasi ke dalam politik-kepentingan masing-masing elite politik. Apalagi saat ini, kedua pasangan sedang memperebutkan simpati pemilih dari basis sosial-kultural yang sama, yakni warga nahdiyyin dan warga marhaenis di daerah Tapal Kuda dan Mataraman. Kita berharap pasca pilkada nanti, paslon dan tim suksesnya mampu merekatkan dan merajut kembali semangat persaudaraan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat.

Perbedaan pandangan, pilihan politik jangan menjadikan masyarakat kita terpecah dan terbelah. Pilkada Serentak akan melahirkan kepala daerah daerah baru. Tugas kita pasca pilkada adalah kembali bersatu, dan bagaimana mengawal kepala daerah yang baru dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunannya lima tahun ke depan. Partisipasi politik masyarakat tidak berhenti pada saat pemilihan, tapi yang lebih penting juga partisipasi masyarakat dalam proses jalannya pemerintahan dan pembangunan daerah agar lebih baik dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Pilkada seretak –yang sarat dengan politik kepentingan– ini harus dijadikan sebagai momentum untuk terus menjaga dan merawat kebhinekaan kita. Keragaman pilihan politik menjadi warna demokrasi yang indah. Setiap orang saling menghormati pilihan politik masing-masing. Meskipun berbeda pilihan politik, namun memiliki semangat yang sama dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indoensia.

Demokrasi Semakin Matang

Pelaksanaan pilkada serentak yang berjalan dengan aman, damai, dan terkendali plus sikap demokratis dari para paslon dan tim sukses dan parpol pengusungnya akan menjadi modal politik yang sangat berharga bagi bangsa ini dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting daripada sekadar pemenangan kuasa politik. Sehingga, proses dan praktik demokrasi (elektoral) kita akan semakin matang dan berkualitas.

Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan dan modal politik penting dalam menjalankan dan meneruskan jalannya pemerintahan dan pembangunan dearah. Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku, dan suasana politik yang sehat dan kondusif ditunjukkan para elite politik di pilkada. Kedewasaan politik elite ini sangat dibutuhkan bangsa ini dalam membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat.

Penulis : Umar Sholahudin, Mahasiswa S-3 FISIP Unair, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya

*Sumber: detik.com

No More Posts Available.

No more pages to load.