Paradoks Empat Partai Baru Peserta Pemilu

oleh -
oleh
detik.com

SUARABOJONEGORO.COM – Sebanyak 15 partai politik dipastikan akan mengikuti pertarungan di Pemilihan Umum pada 2019 nanti. Jumlah itu ditetapkan setelah Partai Bulan Bintang (PBB) secara dramatis memenangi gugatannya pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sebelumnya hanya meloloskan 14 partai. Drama tersebut menjadi ‘bumbu tambahan’ dalam persiapan penyelenggaraan pemilu kali ini selain kehadiran empat partai politik baru yang ikut berkompetisi.

Membicarakan keikutsertaan empat partai baru dalam pemilu ini menjadi jauh lebih menarik sebab mereka hadir dalam situasi yang terbilang sulit. Diketahui bila tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini begitu rendah. Selain itu, hasil survei Indobarometer pada Maret 2017 lalu juga menunjukan bahwa sebesar 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik.

Tantangan semakin berat mengingat pada helatan Pemilu 2019 nanti keempat partai baru itu, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Garuda akan bersaing ketat dengan para partai lama untuk memperebutkan sekitar 196,5 juta suara aktif masyarakat. Terkait hal itu, upaya diferensiasi menjadi kunci tantangan sekaligus kesempatan bagi partai-partai baru yang mesti dihadapi.

Citra maupun popularitas partai tentu menjadi ujian pertamanya. Partai-partai dituntut untuk mampu tampil dalam pendekatan yang berbeda kepada masyarakat dengan tujuan mendobrak kejenuhan masyarakat dalam memandang partai politik yang selama ini terkesan koruptif sekaligus manipulatif. Bila hal itu mampu dilakukan, kesempatan untuk partai baru dalam mengakumulasi suara dan mendapatkan kepercayaan publik akan semakin terbuka lebar.

Melalui hal itu, maka inovasi politik mutlak diperlukan. Firmanzah (2011) dalam bukunya Mengelola Partai Politik menyebut inovasi politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai temuan atau perbaikan atas isu-isu atau program kerja politik yang disesuaikan dengan setiap perubahan yang ada dalam masyarakat. Pertanyaan yang terlontar kemudian, sejauh mana parti politik baru mampu menciptakan gagasan inovasi politik dan tampil sebagai partai alternatif pilihan masyarakat? Atau, hanya akan sama saja dengan pola partai yang sudah ada?

Gagasan Partai ‘Alternatif’

Seiring hadirnya keempat partai baru dalam daftar peserta Pemilu 2019 kali ini, wacana mengenai adanya partai ‘alternatif’ pun kembali menyeruak di ranah publik. Hal itu sebagai imbas dari adanya pendekatan partai yang berbeda dengan parta-partai sebelumnya. PSI misalnya, dianggap mewakili suara baru dengan mengusung konsep anak-anak muda kelas menengah sebagai basis pendukungnya. Kampanye yang ditampilkan sering merujuk pada penguatan basis etika publik dengan menyinggung isu korupsi, kesetaraan, maupun keberagaman.

Namun, kondisi itu berbeda dengan ketiga partai lainnya. Perindo dan Partai Berkarya, keduanya masih terlihat menggunakan pendekatan personalistik dengan menampilkan figur kuat dalam citra partainya. Dibandingkan dengan PSI, keduanya jauh lebih bisa dikatakan sebagai partai dengan model partai elektoralis dengan ciri ketiadaan basis massa yang mengakar, ketergantungan yang tinggi terhadap eksistensi figur, dan seringkali memanfaatkan sejumlah potensi untuk meraup keuntungan pada dimensi citra ataupun material

Partai Perindo yang didirikan pada Februari 2015 sejak awal terlihat menonjolkan sosok Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum sekaligus pendiri partai. Namun, secara popularitas partai ini bisa jadi lebih unggul dibandingkan ketiga partai lainnya, mengingat pemanfaatan jaringan media yang tersebar luas dan berbagai jenis milik Hary Tanoe untuk mempopulerkan gagasan dan visinya.

Sedangkan, untuk Partai Berkarya sosok Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) tampil dengan pesan kuat untuk melanjutkan kejayaan Sang Ayah. Tak jauh berbeda, kehadiran Partai Garuda pun demikian. Digawangi oleh Ahmad Ridha Sabana mantan Direktur PT Cipta Televisi Indonesia (TPI), partai ini dibayangi oleh sosok Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) yang disebut-sebut ada di balik layar. Partai Garuda kemudian seolah memperkuat anggapan kembalinya trah Cendana pada kontestasi politik 2019.

Melihat situasi ini, gagasan mengenai beberapa partai baru tersebut sebagai partai alternatif akhirnya terlihat kabur. Kehadiran partai baru tersebut masih belum terlihat menampilkan sirkulasi elite baru. Hal ini tentu bersinggungan dengan amanat reformasi politik yang menjadi pijakan dari proses transisi demokrasi yakni memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru sebagai alternatif. Munculnya nama Tommy Soeharto, Siti Hardiyanti, dan Hary Tanoe menjadi bukti bahwa jaringan rezim Orde Baru juga masih saling berkaitan dan berpengaruh dalam lanskap politik Indonesia.

Jebakan Oligarki

Menjadi dilematis apabila kemunculan empat partai baru pada akhirnya juga terjebak pada kondisi yang sama: menguatkan relasi oligarki –penguasaan oleh segelintir orang kaya– yang sampai saat ini mendominasi arena politik Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011) menyebut terjadi pergeseran pola oligarki pasca-Orde Baru, yang sebelumnya bersifat sultanistik dengan sosok sentral Presiden Soeharto, menjadi penguasaan kolektif. Relasi yang dibentuk adalah memanfaatkan patronase yang menyebar, koalisi yang cair, dan sekaligus saling bersaing.

Gejala ini muncul bila kita melihat latar belakang para tokoh utama dari partai-partai baru tersebut. Perindo misalnya, Hary Tanoe dikenal sebagai seorang konglomerat media pemilik jaringan MNC Group yang lahir berkat kedekatannya dengan Cendana. Begitu pula Partai Garuda dan Berkarya yang banyak disebut mendapat dukungan dari jaringan konglomerat lama.

Bagaimana dengan PSI? Hal itu bisa saja terjadi, mengingat PSI juga disokong oleh kekuatan jaringan para pengusaha. Dalam beberapa kesempatan, Grace Natalie –Sang Ketua Umum– juga menyampaikan bahwa PSI didukung oleh para pengusaha menengah. Melalui hal ini, maka konfigurasi yang terjadi justru bisa dilihat bahwa ini bisa jadi semata pertarungan antarkekuatan oligarki dalam kelas berbeda. Kompetisi akan terjadi dalam perebutan kursi di parlemen, namun koalisi dengan pola pragmatisme terjadi dalam pemilihan presiden.

Pada akhirnya, kemunculan keempat partai baru ini menampilkan kesan yang saling bertolak belakang (paradoksal). Di satu sisi, mereka memunculkan harapan baru sebagai alternatif pilihan berbeda, namun di sisi lain mereka sekaligus dicurigai semakin meneguhkan pola oligarki politik yang saat ini sudah kuat bercokol di banyak partai politik.

Iqbal F. Randa alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

*Sumber: detik.com

No More Posts Available.

No more pages to load.