Meneropong Kepala Daerah Idaman 2018 Bojonegoro

oleh -
oleh
Oleh: Ahmad Sholikin

suarabojonegoro.com – Pilkada serentak tahun 2018 akan lebih besar daripada Pilkada sebelumnya. Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah tersebut. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Dari Pilkada tersebut ada Pemilihan Kepala Daerah Bojonegoro yang menarik perhatian. Pasalnya Bojonegoro kini menjadi primadona Pemerintahan Pusat, sebagai penghasil minyak utama Indonesia. Bojonegoro menjadi incaran setelah ditemukannya lapangan Banyu Urip Blok  Cepu yang merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia saat ini. Sebanyak 2/3 Blok Cepu berada di wilayah Bojonegoro.

Pilkada Bojonegoro 2018 adalah momen yang sangat penting bagi warga Bojonegoro, karena dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mereka memilih figur yang akan memimpin Bojonegoro. Sebagai bagian dari proses demokrasi, Pilkada juga dituntut untuk menghasilkan pemimpin yang dapat mengemban amanah dan mandat warga Bojonegoro. Pilkada, selain sebagai ritual sirkulasi elite juga harus bisa memberikan kesejahteraan bagi warga Bojonegoro.

Daftar nama-nama Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang telah terdaftar di KPU Bojonegoro, diantaranya; Mahfudoh-Kuswiyanto (PAN, Hanura dan NasDem), Muawanah-Budi Irawanto (PDI-P & PKB), Soehadi Moeljono-Mitroatin (Demokrat & Gokar), Basuki-Pudji Dewanto (PPP & Gerindra). Warga Bojonegoro berhak untuk mendapatkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mampu mengelola Sumber Daya Alam Minyak dan Gas untuk meningkatkan kesejahteraannya. Penajaman akan ukuran maupun kriteria pemimpin di Bojonegoro adalah bagian untuk memperkuat literasi politik warga, di tengah potensi ancaman penyebaran sentimen sektarianisme maupun kabar fitnah (hoax) yang saat ini menjadi tren yang menghancurkan kehidupan politik. (Kusman : 2017).

Peluang dan Tantangan.

Menjadi Kepala Daerah Bojonegoro setidaknya harus memahami beberapa poin strategis yang harus dikelola dengan terukur, seksama, dan cerdas agar dapat mewujudkan kesejahteraan bagi warga Bojonegoro. Tulisan ini berfokus untuk mendiskusikan persoalan pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan bagi warga Bojonegoro. Berkaca dari beberapa wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah seharusnya Bojonegoro memiliki pertumbuhan yang cepat, memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, dan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun demikian, Bojonegoro hingga saat ini cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan kesejahteraan yang rendah. Fenomena inilah yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam (natural resource curse).

Potensi minyak mentah yang ada di Bojonegoro diperkirakan lebih besar dari data yang ada. Blok Cepu mengandung cadangan Migas sebesar 7,7 triliun kaki kubik minyak bumi atau setara 650 juta barel. Hasil penelitian terbaru dari Kementrian ESDM menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah lapangan Banyu Urip sekitar 520 Juta barel dan ada kemungkinan cadangannya sekitar 729 juta barel (Tirto: 2017). Kabupaten Bojonegoro harus belajar dari Kalimantan Timur dan Riau, dengan cadangan minyak yang sudah menipis tetapi belum bisa memberikan kesejahteraan kepada warganya. Hal ini nampak pada nilai TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) di Kalimantan Timur sebesar 7,95 persen. Sedangkan di Riau secara keseluruhan TPT di perkotaan dan perdesaan sebesar 7,43 persen. TPT di Riau dan Kalimantan Timur jauh lebih tinggi dari rata-rata pengangguran terbuka nasional pada Agustus 2016 sebesar 5,61 persen, dan 5,50 persen pada Agustus 2017. Masih cukup tingginya tingkat pengangguran menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia belum mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Hal ini terkait dengan jumlah lapangan kerja yang terbatas dan adanya kecenderungan penyerapan tenaga kerja dengan keahlian khusus.

Kutukan sumber daya alam adalah suatu kondisi dimana terdapat penurunan kinerja sosial dan ekonomi pada daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ada tiga bentuk kutukan yang biasanya diidap oleh sebuah wilayah dengan Sumber Daya Alam yang melimpah, diantaranya; Pertama, “Dutch Disease” merupakan booming sumber daya alam akan menghambat pertumbuhan sector manufaktur dikarenakan adanya penguatan nilai tukar dan pergeseran faktor produksi ke sumber daya alam. (Neary dan van Wijnbergen, 1986). Pada tahun 2016 Bojonegoro memiliki APBD sebesar Rp3,6 triliun, yang merupakan terbesar kedua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya, mengalahkan Malang, Sidoarjo dan Gresik. Adapun pada tahun 2015, realisasi APBD Bojonegoro mencapai Rp2,8 triliun, dengan rincian dana bagi hasil yang berhubungan terkait migas mencapai Rp842 miliar  atau sebesar 30 persen dari total APBD (Tirto: 2017). Hal ini menunjukkan betapa APBD bojonegoro sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sumber Daya Alam Migasnya, karena hampir 30 % menyumbang dari total APBD. Hal ini jika tidak diimbangi dengan kebijakan untuk mengembangkan sector non-migas bisa menjadi kutukan bagi pemilik sumber daya alam seperti Bojonegoro.

Kedua; adalah rent seeking merupakan dampak negatif sumber daya alam terhadap ekonomi dikarenakan aktifitas ekonomi yang berhubungan dengan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya alam membuat aktifitas enterprener bergeser kepada basis sumber daya alam dibandingkan mengoptimalkan output pada sektor manufaktur (Torvik, 2002). Jika dihitung berdasarkan dana transfer pemerintah pusat ke Bojonegoro (termasuk DAU dll) totalnya mencapai  Rp1,958 triliun atau sebesar 65,3 persen. Nampak ketergantungan APBD Bojonegoro pada transfer dana dari pusat dengan kontribusi PAD hanya sebesar R 337 miliar atau 11,23 persen. Melimpahnya anggaran daerah tidak berimbas pada perbaikan ekonomi masyarakat. Pada tahun 2015 angka kemiskinan di Bojonegoro justru naik menjadi 15,71 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 15,48 persen.

Ketiga; adalah lemahnya institusi pemerintah merupakan kutukan sumber daya alam yang akan terjadi jika institusi pemerintah relative lemah. Mahlum et al (2006) menyatakan bahwa institusi pemerintah yang kuat akan mencegah terjadinya kutukan sumber daya alam, walaupun kekayaan sumber daya alam ini sebenarnya justru yang melemahkan institusi pemerintah. Sebagai contoh untuk melihat lemahnya institusi di Bojonegoro dapat dilihat dari sisi dana pendidikan. Pada tahun 2016 total anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro mencapai Rp 907,8 miliar atau sudah mencapai 25% dari total APBD, melebihi amanat konstitusi sebesar 20%.  Sayangnya, porsi anggaran terbesar di dinas pendidikan Bojonegoro untuk belanja gaji yang mencapai Rp 834 miliar atau sekitar 92 persen dari keseluruhan anggaran. Akibatnya alokasi belanja langsung pendidikan hanya sekitar Rp73,8 miliar. Tentu untuk Kabupaten yang memiliki luas wilayah nomor 4 di Jawa Timur dengan jumlah penduduk 1.249.578 dan siswa pendidikan SD sd SMA yang sederajat sebanyak 234.160 orang, maka anggaran langsung sektor pendidikan sangat minim. Akibatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Bojonegoro termasuk rendah dibandingkan rata-rata nasional (Tirto: 2017).

Sumber daya alam yang melimpah akan menjadi berkah ketika pemimpin Bojonegoro nantinya bisa menghindarkan daerahnya dari kutukan sumber daya alam. Bojonegoro bisa terhindar dari kutukan sumber daya alam tersebut, jika pemimpinnya adalah seorang yang memiliki modal politik yang kuat, seorang negosiator ulung, mampu mentransformasikan sebuah kebijakan yang pro rakyat miskin, serta memiliki inisiatif, adil, dan peduli. Disisi lain ia akan menjadi kutukan sumber daya alam, ketika Bojonegoro yang bertumpu pada industri migasnya hanya menjadi bertemunya praktik kolusi dan perilaku predatoris di mana pelakunya bukan hanya berasal dari ranah ekonomi an sich seperti pengusaha namun juga melibatkan  para aktor politik (anggota DPRD, partai politik) dan aparat negara (birokrat) setempat (Aspinall & Klinken: 140). Dengan demikian, pengelolaan atas potensi kekayaan sumber daya alam di Bojonegoro bagaikan pedang bermata dua yang harus dipertimbangkan untuk kemakmuran warga Bojonegoro 5 tahun kedepan.

Kepala Daerah Idaman 2018 untuk Bojonegoro

Berdasar peluang dan tantangan diatas, setidaknya syarat atau kriteria pemimpin idaman 2018 bagi Bojonegoro harus menjadi catatan penting bagi warga Bojonegoro untuk memilih pemimpinnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang patut dipertimbangkan warga Bojonegoro dalam menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah di  Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Laskar Angkling Darmo pada 2018 sampai lima tahun kedepan.

Pertama, warga Bojonegoro berhak mendapatkan kriteria pemimpin yang memiliki modal politik yang kuat. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Akibatnya adalah jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk dimain-mainkan bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga, sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat (the politics of opportunities).

Kedua, pemimpin yang berkarakter seorang negosiator yang handal dan ulung. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro 2018 diproyeksikan Rp 3,4 triliun. Jumlah itu lebih banyak dibanding tahun 2017 yang hanya Rp 3 triliun. Perbedaan besaran anggaran tersebut terletak pada nilai dana bagi hasil (DBH) migas. Tahun ini, DBH migas dipasang 100 persen. Sedangkan tahun lalu hanya dipasang 70 persen. Ini artinya tingkat ketergantung Kabupaten Bojonegoro dengan DBH Migas sangat luar biasa, maka dibutuhkan koloborasi figur pemimpin yang mampu menjadi seorang negosiator ulung. Sehingga dalam Pilkada 2018 ini kita membutuhkan nahkoda yang berpengalaman mengelola dan menembus birokrasi untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, dan kita membutuhkan kombinasi yang mampu mengelola potensi Bojonegoro secara revolusiner, efisien dan profesional. Secara eksplisit kita membutuhkan pasangan Birokrat (?) yang bersih & berpengalaman dengan pengusaha.

Ketiga, pemimpin di Bojonegoro juga harus memiliki kemampuan dalam mentransformasikan gagasan dan kebijakannya dalam memberikan kesejahteraan bagi warga Bojonegoro. Menurut Bass dan Avolio (1994) ada empat ciri atau karakter pemimpin transformatif, yakni Idealized influenced adalah sosok yang meletakkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadinya. Selanjutnya dengan inspirational motivation  yang dimilikinya, ia tampil sebagai inspirator dan motivator yang selalu mengompori rakyatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Dan dengan intellectual stimulation, pemimpin transformatif mendorong rakyat untuk selalu kreatif dan inovatif dalam mencari cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dengan cermat dan rasional. Serta dengan individualized consideration yang dimilikinya, seorang pemimpin transformatif tampil sebagai penengah yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat dan bukan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. (*)

*) Penulis Adalah Lecturer at Politics and Government Programs
Faculty of Social Sciences and Political Sciences
Darul ‘Ulum of 
Islamic University

No More Posts Available.

No more pages to load.