Inilah Sejarah Gereja Tertua di Bojonegoro

oleh -
oleh

Penulis: Team

Masa Perintisan: Tahun 1903 – 1914

Pada 31 Maret 1903 datanglah seorang misionaris Salatiga Zending yang bernama Wilhelm Barth  untuk merintis gereja di Bojonegoro. Lembaga Salatiga Zending itu mendapat wilayah pelayanan, dari pemerintah Hindia Belanda, di Jawa Tengah Utara dan di karesidenan Bojonegoro,. Salatiga Zending ini terbentuk dari gabungan antara misionaris Jerman yang diutus oleh “Neukirchener Mission” (berpusat di kota Neukirchen, Jerman) dan misionaris Belanda yang diutus oleh “Vireeniging tot ondersteuning van de zendelingen der Salatiga-zending op java” (Perhimpunan Untuk Mendukung Para Misionaris Salatiga Zending Di Jawa) yang berpusat di Utrecht, Belanda.

Sedangkan untuk bapak Wilhelm Barth sendiri berasal dari Weiterode (Jerman). Dan pada tahun 1894 – 1899 studi di seminari misi di Neukirchen (Jerman). Lalu diutus ke Jawa oleh Yayasan Misi “Neukichener Mission”. Setelah tiba di Jawa pada tahun 1899 ia belajar bahasa Jawa dan menikah dengan Gesina Lopman pada tahun 1901, baru pada akhir bulan Maret 1903 keluarga muda ini ditemmpatkan di Bojonegoro, bersama dengan anak putri mereka bernama Anna Margarete, yang lahir di Kaliceret dan pada usia yang baru beberapa bulan dibawa ke Bojonegoro. dalam pelayanannya bapak  Barth didukung oleh asisten residen Bojonegoro, seorang Kristen yang setia.

Mereka bersama-sama mendirikan pelayanan medis dengan bermodal pengetahuan medis yang sedikit, yang ia peroleh pada waktu dalam pendidikan di seminari. Namun begitu oleh masyarakat ia dianggap sebagai dokter.
Selain itu Bart juga mengadakan kelompok PA Bagi tentara Kristen dari Ambon, di barak mereka. Yang dimana sebagian dari mereka juga mengikuti kebaktian minggu setiap pekannya. Di sisi lain Ibu Gesina Barth membuka kelas menjahit, awalnya untuk gadis Belanda kemudian juga bagi gadis Jawa.
Dalam pekabaran Injil ini keluarga Barth juga dibantu oleh Guru Injil Jawa, yaitu GI Jochanan (hanya sepuluh hari) dan GI Joesoep (dari Tugu) beserta anaknya Johanes, yang mengajar di sekolah zending yang baru didirikan. Pada tahun 1904 guru sekolah Jawa Johannes pergi dan diganti Jakobus. Sedangkan GI Joesoep melayani di pepathan Ngringin (± 9 kilo dari Bojonegoro ke Barat). Untuk mengembangkan sayapnya, pepathan baru ini segera mendirikan sekolah Kristen yang pada waktu itu diserahkan pada seoarang guru Jawa bernama Samsudin dengan jumlah murid mula – mula 18 anak.

Di samping pelayanan itu, Wilhelm Barth dari awal berusaha agar mendapat lahan untuk membangun gedung gereja. Untuk mendapatkan lahan tanah itupun memerlukan perjuangan yang keras. Kemudian atas bantuan para misionaris yang lain dan juga pemerintah Hindia Belanda,  maka terkumpullah dana untuk membeli sebidang tanah seluas 2 hektar yang terletak di desa Kadipaten. Pada tanggal 7 November 1905 didirikan terlebih dulu sebuah pastori.

 Selama kurang lebih 3 bulan, setelah pembangunan Pastori, dibangunlah gedung gereja yang perdana di Bojonegoro. Atas pertolongan Tuhan dan orang – orang Kristen tadi, maka selesailah pembangunan gedung gereja itu pada bulan Desember 1905. Dan pada tanggal 10 Desember 1905diresmikan sebagai jemaat yang mula – mula di Bojonegoro, dan kebaktian peresmian dihadiri pula oleh rekan – rekan hamba Tuhan yang Lain. Lalu pada hari Natal tahun 1905 ada baptisan pertama dengan 16 orang percaya sebagai hulu hasil pelayanan kel. Barth serta pelayanan guru Injil Jawa.

Di antara yang baptis adalah Lurah desa Ngringin bersama isterinya, kedua mertuanya dan tiga anaknya. Ia memilih nama Zakheus karena sama seperti Zakheus ia bersama rumah tangganya diberkati oleh kedatangan Tuhan. Dan memang keluarga ini menjadi berkat besar bagi pekabaran Injil di Bojonegoro : Anaknya, Soedjono Siswosoedarmo, bersekolah di sekolah zending Bojonegoro dan seminari guru di Tingkir, lalu menjadi guru di sekolah zending di Bojonegoro, sekaligus melayani sebagai majelis jemaat Bojonegoro dan sering menasehati para misionaris khusunya dalam persoalan yang menyangkut budaya Jawa.

II.              Masa Perkembangan 1914 – 1940
Pada Tahun 1907 Bp. Wilhelm  Barth mendirikan rumah sakit yang sekarang ini namanya rumah sakit “Sorodoro” yang dimiliki pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Selain itu juga mendirikan sekolah Kristen. Sekolah zending yang pertama kali didirikan di belakang gereja  (sekarang bernama SD Mardisiswo dan ada TK Petra) dengan guru Bp. Jakobus.

Ibu Gesina Barth juga mendirikan sekolah bagi putri Jawa dari keluarga terkemuka. Melalui sarana itulah,  pelayanan tersebut mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga misi melalui kedua bidang itu semakin membuahkan hasil yang menggembirakan. Dalam waktu singkat warga jemaat bertambah dan  yang aktif mengikuti kebaktian antara 50 – 60 orang dewasa dan anak – anak.
Pada tahun 1909 kel. Wilhelm Barth harus ke Jerman untuk menyekolahkan anak mereka disana, karena “Nonik Anna Margaret” sudah mencapai usia SD. Selama mereka di Jerman, pelayanan mereka dilanjutkan oleh keluarga Bp. Friendrich SchlipkÖter dan Ibu Clara SchlipkÖter (dari Jerman pula).
Namun, Bp. Ibu Wilhelm Barth merindukan sekali kembali ke Bojonegoro. Maka pada tahun 1912 mereka meninggalkan anak tunggal mereka di Jerman dan kembali ke Bojonegoro untuk melanjutkan pelayanan mereka mulai dari tahun 1912 – 1914.
Pada bulan Februari 1914 konferensi Salatiga Zending memutuskan agar kel. Barth dipindahkan ke tempat lain di wilayah Salatiga Zending, dan Bp.Heinrich Niephaus (dari Capellen, Jemar) dan Ibu Johanna Niephaus dipindahkan ke Bojonegoro. Mereka tiba di Bojonegoro pada tanggal 1 Oktober 1914. Karena sebelumnya, kel. Niephaus, melayani di Semarang dalam bidang penerbitan Kristen.

Sehingga di Bojonegoro pun mereka melayani dengan cara  membagikan majalah Kristen berbahasa Jawa dengan nama “Mardi Rahadjo” dan “Layang Kabungahan” serta majalah “Penabur”. Pada tahun 1918 kel. Niephaus dapat mebeli sebidang tanah dekat gereja untuk mendirikan sebuah sekolah bagi anak – anak Belanda dan Tionghoa. Sekolah ini berkembang pesat, sehingga tahun 1918 sudah harus menambah gedung sekolah baru, sampai jumlah siswa mencapai 135 orang. Tetapi karena kesulitan mencari guru, sekolah tersebut sudah  harus ditutup lagi tahun 1920 dan gedung dipakai sebagai tambahan untuk gedung rumah sakit. Rumah sakit juga sangat diminati sampai harus opname 64 pasien.

Bersama dengan guru Injil Jawa kel. Niephaus merintis pepathan baru di sebelah Utara Bojonegoro, tepatnya di daerah Cengkong (Parengan). Namun karena situasi (tiga jam jalan kaki dari Bojonegoro), kebaktian di daerah itu hanya bisa dilaksanakan 2 minggu sekali. Pada awal PI di daerah ini ada 16 jiwa yang bertobat dan dibaptis.

Dalam perkembangannya, jemaat Cengkong tersendat karena adanya rintangan dari penduduk setempat yang masih animistis. Namun, setelah kereta api Bojonegoro – Jatirogo –  Rembang dibuka pada tahun 1919 Cengkong bisa dicapai dalam waktu 10 menit, pelayanan kembali lancar.
Dalam perjalanan ke Cengkong, di kereta api, Niephaus membagi majalah penginjilan tersebut tadi, sehingga ia bersama penginjil Jawa dapat membuka pepathan baru di Jatirogo, Kradenan, Kwangenrejo, Pulo, Tuban, dan Babat.
Selain itu juga di Kwangenrejo, guru Jawa Joesoep juga mengabarkan Injil, disamping tugasnya sebagai guru sekolah umum.

Pada tahun 1923 kel. Niephaus diganti oleh misionaris Bp. Johannes Bretzler (dari Emden, Jerman) serta Ibu Elisabeth Bretzler. Bp. Johannes Bretzler berusaha keras untuk mendapatkan seorang suster dan bidan yang berkwalifikasi. Dan akhirnya pada tahun 1925 ia mendapat Suster Käthe Weiss, yang malah menjadi satu – satunya bidan sepanjang jalan Cepu – Surabaya.

Akan tatapi Kel. Brezler sendiri pada tahun 1925 pindah ke Blora dan hanya sekali – sekali mengkonsuleni / berkunjung ke Bojonegoro. Sehingga Suster Käthe Weiss juga harus mengajar sekolah minggu, katekisasi, mengabarkan Injil dan memimpin seluruh pelayanan di Bojonegoro karena tidak ada misionaris lain.
Tetapi sayangnya pada tahun 1927 Suster Käthe Weiss menderita penyakit kulit dan terpaksa pulang untuk dirawat di Jerman. Tahun 1927 pula kel. Bretzler akhirnya menyerahkan pelayanannya di Bojonegoro kepada Bp.Emil Karl Erich Heintze (dari Essen, Jerman) dan Ibu Anna Margarete Heintze. Sedangkan kel. Bretzler melayani di Blora.

Ibu Anna Margarete Heintze ini lahir di Kalilceret tahun 1903, dan ia adalah anak  tunggal Ibu Gesina dan Bp. Wilhelm Barth, melewati masa kecilnya di Bojonegoro, tetapi mulai tahun 1909 bersekolah di Neukirchen, Jerman, seperti sudah disebutkan diatas. Ternyata ia masih rindu akan tanah kelahirannya, sehingga pada tahun 1927 Nona Anna Margarete kembali ke tanah Jawa, menikah dengan Emil Karl Erich Heintze dan bersama suaminya melanjutkan pelayanan yang dirintis ayahnya di Bojonegoro.

Diatas sudah disebutkan pula bahwa sebelum rumah sakit zending milik Salatiga Zending berdiri, sudah ada rumah sakit pemerintah Hindia Belanda di Bojonegoro. Tetapi pada tanggal 1 Januari 1930 rumah sakit pemerintah itu diserahkan kepada Zending. Memang, gedungnya sudah amat tua dan harus direnovasi total. Tetapi untuk renovasi pun pemerintah Hindia Belanda masih membantu dengan menanggung 75 % dari ongkos renovasi. Sehingga pelayanan medis semakin berkembang setelah rumah sakit pemerintah digabungkan dengan rumah sakit zending.

Tahun 1934 kel. Heintze meninggalkan tanah Jawa dan kembali ke Jerman, tahun 1936 Emil Karl Erich Heintze dipilih sebagai sekretaris I Komite Pendukung Salatiga Zending (‘Vereeniging tot ondersteuning van de zendelingen der Salatiga – zending op Java’) di Utrecht, Belanda. Pelayanan di Bojonegoro dilanjutkan oleh Bapak Paul Kroh (dari Schüllar, Jerman) bersama isterinya Martha Kroh. Paul Kroh sejak 1925 sudah melayani di Moga, lalu tahun 1934 pindah ke Bojonegoro. Namun, tahun 1935 – 1937, mereka cuti di Jerman dan diwakili oleh Alfred Flick (dariNeukirchen, Jerman) serta isterinya Lydia Flick. Kemudian tahun 1937-1940 kel. Kroh melanjtkan pelayanan di Bojonegoro. Selain dari itu, Bp. Paul Kroh juga menjabat sebagai ketua gabungan misionaris Salatiga Zending.

III.           Masa suram 1940 – 1950
Memasuki tahun 1940 – 1950 GKJTU Jemaat Bojonegoro benar – benar mengalami ujian berat karena situasi politik. Saat itu dunia tengah dilanda Perang Dunia II. Pada tanggal 10 Mei 1940 Jerman menyerang Belanda, lalu semua misionaris Jerman di Hindia Belanda ditangkap ( “ di-intern “ ), termasuk Bapak Paul Kroh. Sedangkan Ibu Martha Kroh bersama anak – anak dipindahkan ke Sarangan. Dan oleh karena PD II langsung disusul Perang Kemerdekaan, maka lebih dari satu dekade para misionaris  Jerman tidak dapat kembali ke tanah Jawa. Patut disyukuri bahwa sebelum tahun 1940 jemaat Bojonegoro sudah mandiri dan memiliki Pandhita Jawa, yaitu Bp. Pdt. R. Soetjipto. Sehingga pelayanan yang ditinggal oleh kel. Kroh bisa diambil alih dan dilanjutkan oleh Bp. Pdt. R. Soetjipto.

Bapak Soetjipto harus bekerja keras untuk mempertahankan eksistensi jemaat baik di Bojonegoro maupun jemaat – jemaat pedesaan di sekitarnya.
Pada zaman penjajahan Jepang keadaan jemaat semakin memprihatinkan. Karena kekejaman Jepang, orang – orang Kristen baik di kota maupun di desa semakin berkurang, akibat penganiayaan dan intimidasi. Sampai – sampai gedung gereja di Bojonegoro dirampas dan dijadikan gedung sandiwara. Begitu juga segala peralatan gereja dirampas sehingga jemaat di Bojonegoro, waktu itu harus kebaktian di rumah – rumah.

Karena masih mengadakan aktivitas gerejawi itu, suatu saat bapak Soetjipto pernah harus dibui/dipenjara dan diinterogasi oleh penjajah Jepang. Akan tetapi dia pun segera dibebaskan.

IV.          Masa Pertumbuhan kembali 1950 – sekarang
Pada tahun 1950-an jemaat Bojonegoro mulai mengalami pencerahan. Berdirilah pepathan baru, mulai dari Barat yaitu Padangan, Kendung, Kalitidu terus ke Timur Sugihwaras, Sumberejo, Sroyo, Babat, Lamongan, Sumber Gondang dan Ngasemlemahbang. Ke arah Selatan yaitu Mojoranu, Kwangenrejo, Dander, Bobolan, Kedungadem, Gares, Tondomulo; sedangkan ke Utara yaitu Cengkong, Jatirogo dan Tuban.

 Pada tahun 1954 Bp. Paul Kroh juga sempat berkunjung ke tanah Jawa lagi, terutama untuk menyerahkan tanah – tanah zending kepada pasamuan dengan atas nama pendeta – pendeta jemaat, dalam hal ini di Bojonegoro kepada Pdt. R. Soetjipto.
Pada tahun 1958 bapak Soetjipto  mendirikan Sekolah Alkitab “Sabdo Mulyo” dibantu oleh seorang misionaris dari Jerman, Bp. Detmar Scheunemann. Pendirian Sekolah Alkitab itu dengan harapan menelurkan hamba – hamba Tuhan yang mau membantu pelayanan di daerah sekitar atau daerah – daerah yang lain. Dari Sekolah Alkitab ini kemudian menelurkan tokoh – tokoh GKJTU, antara lain Bp. Sudjoko Paulus (mantan Sekretaris I MPH Sinoe GKJTU) dan Bp. Setianto (mantan Ketua MPH sinode GKJTU) dan lain – lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, dari GKJTU Jemaat Bojonegoro ini kemudian munculah gereja – gereja tetangga antara lain Gereja Advent Hari Tujuh, Gereja Katolik, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat, Gereja Kristen Jawi Wetan dan lain – lain di wilayah Bojonegoro.
Pada tahun 1995 beliau pula yang mendorong agar gedung gereja GKJTU segera direnovasi karena sudah tidak memenuhi syarat untuk tempat ibadah. Berkat Tuhan, tumbuhlah semangat membangun dari warga jemaat maka tanggal 24 Juni 1995 dilaksanakan peletakan batu pertama untuk membangun gedung geraja yang baru oleh Bpk. Pdt. R. Soetjipto dan dapat diselesaikan dan pada tanggal 27 Desember 2003.

Pada tanggal 22 Pebruari 1999 Bp. R. Soetjipto dipanggil Tuhan dalam usia yang ke – 89 tahun. Setelah Bapak Pendeta R. Soetjipto dipanggil Tuhan digantikan oleh putranya yaitu Bpk. Pendeta Permadi. Dan oleh karena gedung yang baru tersebut GKJTU Bojonegoro mendapat banyak simpatisan terutama dari karyawan Petro China East Java dan Exon Mobil Oil Cepu dimana kedua perusahaan tersebut bergerak dibidang perminyakan . Dan karyawan – karyawan itu banyak membantu dibidang pembangunan gedung Gereja serta pertumbuhan GKJTU Jemaat Bojonegoro.

Bapak Pdt. Permadi Emiritus 17 Agustus 2010 dan bersamaan dengan itu di tahbiskan pendeta baru yatiu Pdt. Akris Mujiyono, yang menjadi Pendeta hingga sekarang ini. (lipsus/bim/red)

No More Posts Available.

No more pages to load.